February 21, 2011

ANALISIS SINGLE TRACK DAN DOUBLE TRACK SYSTEM
DALAM UU. NO. 32 TAHUN 2009 TENTANG 
PERLINDUNGAN DAN PENGELOLAAN LINGKUNGAN HIDUP 


A. Latar Belakang
Bila diamati perkembangan hukum pidana dewasa ini di Indonesia, terutama Undang-Undang Pidana Khusus[1] atau perundang-undangan pidana di luar KUHP, terdapat suatu kecenderungan penggunaan sistem dua jalur dalam stelsel sanksinya. Penggunaan “sistem dua jalur” ini sudah menjadi kecenderungan internasional sebagai konsekuensi dianutnya aliran Neo klasik yang berusaha memanfaatkan kelebihan dan meninggalkan kelemahan dari kedua aliran hukum pidana lainnya, yakni aliran Klasik dan aliran Modern. Pendekatan tradisional yang menganggap bahwa seolah-olah sistem “tindakan” hanya dikenakan bagi orang yang “tidak mampu bertangung jawab”, sudah saatnya harus ditinggalkan.[2]

B. Pengertian Sistem Satu Jalur dan Sistem Dua Jalur
Dalam konsep perundang-undangan yang masih menganut sistem satu jalur (single track system), penjatuhan (stelsel) sanksinya hanya meliputi pidana (straf, punishment) yang bersifat penderitaan saja sebagai bentuk penghukuman. Sedangkan dalam konsep perundang-undangan yang menganut sistem dua jalur (double track system), stelsel sanksinya mengatur dua hal sekaligus, yaitu sanksi pidana dan sanksi tindakan.
Menurut Muladi, hukum pidana modern yang bercirikan orientasi pada perbuatan dan pelaku (daad-dader straafrecht), stelsel sanksinya tidak hanya meliputi pidana (straf, punishment) yang bersifat penderitaan, tetapi juga tindakan tata tertib (maatregel, treatment) yang secara relatif lebih bermuatan pendidikan.[3] Namun demikian, sebagai akibat terjadinya perubahan dari pendekatan tradisional itu, jika tidak dilakukan pendekatan konseptual justru akan menambah daftar kekaburan dalam praktek penetapan sanksi pidana dan sanksi tindakan itu sendiri. Hal ini juga diakui oleh Barda Nawawi Arief dalam pernyataannya:
“…pedoman (pemidanaan, pen.) juga dimaksudkan sebagai jembatan untuk menginformasikan prinsip-prinsip atau ide-ide yang melatarbelakangi disusunnya KUHP (Konsep), antara lain : ide untuk mengefektifkan penggabungan jenis sanksi yang bersifat “pidana” (straf/punishment) dengan jenis sanksi yang lebih bersifat “tindakan” (maatregel/treatment), walaupun disadari adanya kekaburan mengenai batas-batas kedua jenis sanksi ini.”[4]

Dari pernyataan Barda Nawawi Arief di atas, dapat ditegaskan bahwa “sistem dua jalur” menimbulkan inconsistency dalam praktek penetapan sanksi. Ketidakkonsistenan ini terlihat pada tumpang tindihnya (overlapping) antara sanksi pidana dan sanksi tindakan. Selain itu, terkesan adanya keragu-raguan dalam menetapkan jenis dan bentuk sanksi tindakan secara limitatif sehingga dapat mengaburkan pengertian sanksi tindakan itu sendiri menjadi sanksi administratif yang tidak termasuk dalam ruang lingkup hukum kepidanaan.[5] 

C. Pengertian Sanksi Pidana dan Sanksi Tindakan
Sehubungan dengan perbedaan antara sanksi pidana dan sanksi tindakan, serta batasan antara keduanya yang dinilai kabur, maka perlu dipaparkan pendapat para sarjana mengenai dua jenis sanksi tersebut:
1. Satochid Kertanegara:
Dalam salah satu karya tulisnya, Satochid menerangkan bahwa di dalam hukum pidana juga ada sanksi yang bukan bersifat siksaan, yaitu apa yang disebut tindakan (maatregel). Dia menunjuk contoh sanksi yang bukan merupakan siksaan itu terdapat dalam Pasal 45 KUHP.[6]
2. Sudarto:
Pendapatnya menekankan bahwa sanksi pidana adalah penderitaan yang sengaja dibebankan kepada orang yang melakukan perbuatan yang memenuhi syarat-syarat tertentu. Sanksi dalam hukum pidana modern, juga meliputi apa yang disebut tindakan tata tertib. Selanjutnya Sudarto juga menjelaskan bahwa sanksi pidana adalah pembalasan (pengimbalan) terhadap kesalahan si pembuat, sedangkan tindakan adalah untuk perlindungan masyarakat dan untuk pembinaan atau perawatan si pembuat.[7]
3. Andi Hamzah:
Meskipun perbedaan sanksi pidana dan sanksi tindakan menurut Andi Hamzah agak samar, tapi dia memberi penjelasan singkat bahwa sanksi pidana bertitik berat pada pengenaan sanksi pada pelaku suatu perbuatan, sedangkan sanksi tindakan bertujuan melindungi masyarakat.[8] Selanjutnya dia mengutip pendapat Roeslan Saleh bahwa macam sanksi pidana tercantum dalam Pasal 10 KUHP, sedangkan tindakan (maatregel) diluar pasal tersebut.[9]
4. Utrecht:
Secara teoritis, Utrecht melihat perbedaan sanksi pidana dan sanksi tindakan dari sudut tujuannya. Sanksi pidana bertujuan memberi penderitaan istimewa (Bijzonder leed) kepada pelanggar supaya ia merasakan akibat perbuatannya. Sedangkan sanksi tindakan tujuannya lebih bersifat mendidik. Dengan mengutip pendapat Pompe, Utrecht menjelaskan lebih lanjut bahwa sanksi tindakan itu bila ditinjau dari teori-teori pemidanaan merupakan sanksi yang tidak membalas, melainkan semata-mata ditujukan pada prevensi khusus. Sanksi tindakan itu bertujuan melindungi masyarakat terhadap orang-orang berbahaya yang mungkin akan melakukan delik-delik yang dapat merugikan masyarakat.[10]
5. J.E. Jonkers:
Pakar hukum pidana dari Belanda ini juga membedakan jenis sanksi pidana dan sanksi tindakan. Dikatakannya, sanksi pidana dititikberatkan pada pidana yang diterapkan untuk kejahatan yang dilakukan, sedangkan sanksi tindakan mempunyai tujuan yang bersifat sosial.[11] Terdapat kesamaan pandangan antara Roeslan Saleh, Utrecht, Andi Hamzah dan Jonkers tentang lingkup di luar Pasal 10 KUHP yang dikatakan oleh mereka tidak dapat dikualifikasikan sebagai sanksi pidana.
Dari penjelasan-penjelasan di atas, maka sanksi pidana sesungguhnya bersifat reaktif terhadap suatu perbuatan, sedangkan sanksi tindakan lebih bersifat antisipatif terhadap pelaku perbuatan tersebut. Fokus sanksi pidana ditujukan pada perbuatan salah yang telah dilakukan seseorang melalui pengenaan penderitaan agar yang bersangkutan menjadi jera. Fokus sanksi tindakan lebih terarah pada upaya memberi pertolongan pada pelaku agar ia berubah.[12]
Jelaslah, bahwa sanksi pidana lebih menekankan unsur pembalasan (pengimbalan). Ia merupakan penderitaan yang sengaja dibebankan kepada seorang pelanggar. Sedangkan sanksi tindakan bersumber dari ide dasar perlindungan masyarakat dan pembinaan atau perawatan si pembuat.[13] Atau seperti dikatakan J.E. Jonkers, bahwa sanksi pidana dititikberatkan pada pidana yang diterapkan untuk kejahatan yang dilakukan, sedangkan sanksi tindakan mempunyai tujuan yang bersifat sosial.[14]
Berdasarkan tujuannya, sanksi pidana dan sanksi tindakan juga bertolak dari ide dasar yang berbeda. Sanksi pidana bertujuan memberi penderitaan istimewa (Bijzonder leed) kepada pelanggar supaya ia merasakan akibat perbuatannya. Selain ditujukan pada pengenaan penderitaan terhadap pelaku, sanksi pidana juga merupakan bentuk pernyataan pencelaan terhadap perbuatan si pelaku. Dengan demikian, perbedaan prinsip dengan sanksi tindakan terletak pada ada tidaknya unsur pencelaan, bukan pada ada tidaknya unsur penderitaan.[15] Sedangkan sanksi tindakan tujuannya lebih bersifat mendidik.[16]
Jika ditinjau dari teori-teori pemidanaan, maka sanksi tindakan merupakan sanksi yang tidak membalas. Ia semata-mata ditujukan pada prevensi khusus, yakni melindungi masyarakat dari ancaman yang dapat merugikan kepentingan masyarakat itu.[17] Singkatnya, sanksi pidana berorientasi pada ide pengenaan sanksi terhadap pelaku suatu perbuatan, sementara sanksi tindakan berorientasi pada ide perlindungan masyarakat.[18]   

D. Sistem Dua Jalur Dalam UU. No. 32 Tahun 2009
UU. No. 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup secara nyata dan jelas menganut sistem dua jalur (double track system), hal ini terlihat dari penegasan Pasal 119 yang menyatakan:
"Selain pidana sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang ini, terhadap badan usaha dapat dikenakan pidana tambahan atau tindakan tata tertib berupa: 
a. perampasan keuntungan yang diperoleh dari tindak pidana; 
b. penutupan seluruh atau sebagian tempat usaha dan/atau kegiatan; 
c. perbaikan akibat tindak pidana; 
d. pewajiban mengerjakan apa yang dilalaikan tanpa hak; dan/atau 
e. penempatan perusahaan di bawah pengampuan paling lama 3 (tiga) tahun."[19]

Dengan demikian, maka pada prinsipnya semua ketentuan pidana yang ada di dalam Bab XV UU. No. 32 Tahun 2009, dimulai dari Pasal 97 hingga Pasal 116 menganut sistem dua jalur (double track system), karena selain menerapkan sanksi pidana, terhadap pelaku kejahatan juga dapat dikenakan sanksi tindakan. Pendapat penulis ini, mungkin menurut beberapa kalangan adalah hal yang keliru, karena Pasal 119 hanya mengatur sanksi tindakan terhadap badan usaha, maka pasal ketentuan pidana yang dapat dikenakan sanksi pidana sekaligus sanksi tindakan hanyalah Pasal 116 ayat (1) huruf (a) saja:
”Apabila tindak pidana lingkungan hidup dilakukan oleh, untuk, atau atas nama badan usaha, tuntutan pidana dan sanksi pidana dijatuhkan kepada: 
a. badan usaha;”...[20]
  
Namun, menurut penulis justru semua pasal dimulai dari Pasal 97 hingga Pasal 116 menganut sistem dua jalur (double track system), meskipun di pasal-pasal tersebut tidak dituliskan badan usaha. Hal ini menurut penulis harus didasarkan kembali pada Pasal 1 angka (32) Bab I Ketentuan Umum dari UU. No. 32 Tahun 2009 ini, dimana dinyatakan: Setiap orang adalah "orang perseorangan" atau "badan usaha", baik yang berbadan hukum maupun yang tidak berbadan hukum.[21] Maka dengan demikian, jelaslah bahwa semua ketentuan pidana di UU. No. 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup menganut sistem dua jalur (double track system).


[1]Sudarto, Kapita Selekta Hukum Pidana, Alumni, Bandung, 1986, hlm. 63 mengemukakan tiga kelompok yang bisa dikualifikasikan sebagai undang-undang pidana khusus, yaitu: undang-undang yang tidak dikodifikasikan, peraturan-peraturan hukum administratif yang memuat sanksi pidana, dan undang-undang yang memuat hukum pidana khusus (ius speciale) yang memuat delik-delik untuk kelompok orang tertentu atau berhubungan dengan perbuatan tertentu.
[2]Ibid., hlm. 153-156.
[3]Muladi, Hak Azazi Manusia, Politik dan Sistem Peradilan Pidana, Badan Penerbit Universitas Diponegoro, Semarang, 1997, hlm. 151.
[4]Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 1996, hlm. 119.
[5]M.Sholehuddin, Sistem Sanksi Dalam Hukum Pidana, Ide Dasar Double Track System & Implementasinya, PT. RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2003, hlm. 4
[6]Satochid Kertanegara, Hukum Pidana Bagian Satu, Balai Lektur Mahasiswa, t.t., hlm. 49.
[7]Sudarto, Hukum Pidana Jilid I A, Badan Penyediaan Kuliah FH. UNDIP, Semarang, 1973, hlm. 7.
[8]Andi Hamzah, op. cit.
[9]Ibid., hlm.3.
[10]Utrecht, op. cit.
[11]J.E. Jonnkers, Buku Pedoman Hukum Pidana Hindia Belanda, PT. Bina Aksara, Jakarta, 1987, hlm. 350
[12]Bandingkan dengan Muladi dan Barda Nawawi Arief, Teori-Teori dan Kebijakan Pidana, Alumni, Bandung, 1992, hlm. 4.
[13]Sudarto, Hukum Pidana Jilid I A, Badan Penyediaan Kuliah FH.UNDIP, Semarang, 1973, hlm. 7.
[14]J.E. Jonkers, Buku Pedoman...ibid.,
[15]Lihat Muladi dan Barda Nawawi Arief, Teori-Teori..., op.cit., hlm. 5.
[16]Utrecht, Rangkaian Sari Kuliah Hukum Pidana II, Pustaka Tinta Mas, Surabaya, 1987, hlm. 360.
[17]Ibid.
[18]Andi Hamzah, Sistem Pidana dan Pemidanaan Indonesia, Dari Retribusi ke Reformasi, PT. Pradnya Paramita, Jakarta, 1986, hlm.53.
[19]Pasal 119, Undang-Undang No.32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.
[20]Pasal 116 ayat (1) huruf (a), UU. No. 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.
[21]Pasal 1 (angka 32), Bab I Ketentuan Umum, UU. No. 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.     

No comments:

Post a Comment