March 20, 2015

REMISI PELAKU TINDAK PIDANA KORUPSI 
HAK DAN KEPASTIAN PENEGAKAN HUKUM

Rencana Menteri Hukum dan HAM, Bapak Yasonna Laoly merevisi Peraturan Pemerintah No. 99 Tahun 2012 tentang Perubahan Kedua atas Peraturan Pemerintah No. 32 Tahun 1999 tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan menimbulkan polemik.

Menkumham menilai pembatasan remisi terhadap terpidana korupsi tak sesuai dengan prinsip pemasyarakatan. Menurutnya, aturan pengetatan remisi terhadap pelaku kejahatan luar biasa menjadikan hukum Indonesia mundur ke belakang. Bahkan, melemahkan hukum nasional karena menimbulkan diskriminasi antar narapidana.

Peraturan Pemerintah No. 99 Tahun 2012 mengatur narapidana kasus korupsi diharuskan memenuhi dua syarat untuk mendapat remisi, yang pertama bersedia menjadi "justice collaborator" (saksi pelaku) yang bekerja sama dengan aparat penegak hukum untuk mengungkap pelaku utama maupun pelaku korupsi lainnya; dan syarat kedua adalah membayar pidana uang pengganti dan denda yang dijatuhkan.

Pada prinsipnya remisi (pengurangan masa hukuman) adalah sarana hukum berwujud "Hak" yang diberikan Undang-Undang kepada semua narapidana tanpa terkecuali termasuk narapidana tindak pidana korupsi. Hal ini diamanatkan dalam Pasal 14 Undang-Undang No.12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan.

Bahwa remisi merupakan hak terpidana harus dipahami dalam konteks yuridis. Sepanjang Undang-Undang masih mengatur hal tersebut, maka pelaku tindak pidana korupsi memiliki hak yang sama mengenai remisi. Apabila ada keinginan menolak remisi bagi pelaku tindak pidana korupsi maka sesuai prinsip legalitas hukum, hal tersebut harus dilakukan dengan mengubah Undang-Undang No.12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan, sehingga kemudian ciri negara hukum yaitu perlindungan dan penegakan hukum dapat terpenuhi.


February 21, 2011

ANALISIS SINGLE TRACK DAN DOUBLE TRACK SYSTEM
DALAM UU. NO. 32 TAHUN 2009 TENTANG 
PERLINDUNGAN DAN PENGELOLAAN LINGKUNGAN HIDUP 


A. Latar Belakang
Bila diamati perkembangan hukum pidana dewasa ini di Indonesia, terutama Undang-Undang Pidana Khusus[1] atau perundang-undangan pidana di luar KUHP, terdapat suatu kecenderungan penggunaan sistem dua jalur dalam stelsel sanksinya. Penggunaan “sistem dua jalur” ini sudah menjadi kecenderungan internasional sebagai konsekuensi dianutnya aliran Neo klasik yang berusaha memanfaatkan kelebihan dan meninggalkan kelemahan dari kedua aliran hukum pidana lainnya, yakni aliran Klasik dan aliran Modern. Pendekatan tradisional yang menganggap bahwa seolah-olah sistem “tindakan” hanya dikenakan bagi orang yang “tidak mampu bertangung jawab”, sudah saatnya harus ditinggalkan.[2]

B. Pengertian Sistem Satu Jalur dan Sistem Dua Jalur
Dalam konsep perundang-undangan yang masih menganut sistem satu jalur (single track system), penjatuhan (stelsel) sanksinya hanya meliputi pidana (straf, punishment) yang bersifat penderitaan saja sebagai bentuk penghukuman. Sedangkan dalam konsep perundang-undangan yang menganut sistem dua jalur (double track system), stelsel sanksinya mengatur dua hal sekaligus, yaitu sanksi pidana dan sanksi tindakan.
Menurut Muladi, hukum pidana modern yang bercirikan orientasi pada perbuatan dan pelaku (daad-dader straafrecht), stelsel sanksinya tidak hanya meliputi pidana (straf, punishment) yang bersifat penderitaan, tetapi juga tindakan tata tertib (maatregel, treatment) yang secara relatif lebih bermuatan pendidikan.[3] Namun demikian, sebagai akibat terjadinya perubahan dari pendekatan tradisional itu, jika tidak dilakukan pendekatan konseptual justru akan menambah daftar kekaburan dalam praktek penetapan sanksi pidana dan sanksi tindakan itu sendiri. Hal ini juga diakui oleh Barda Nawawi Arief dalam pernyataannya:
“…pedoman (pemidanaan, pen.) juga dimaksudkan sebagai jembatan untuk menginformasikan prinsip-prinsip atau ide-ide yang melatarbelakangi disusunnya KUHP (Konsep), antara lain : ide untuk mengefektifkan penggabungan jenis sanksi yang bersifat “pidana” (straf/punishment) dengan jenis sanksi yang lebih bersifat “tindakan” (maatregel/treatment), walaupun disadari adanya kekaburan mengenai batas-batas kedua jenis sanksi ini.”[4]

Dari pernyataan Barda Nawawi Arief di atas, dapat ditegaskan bahwa “sistem dua jalur” menimbulkan inconsistency dalam praktek penetapan sanksi. Ketidakkonsistenan ini terlihat pada tumpang tindihnya (overlapping) antara sanksi pidana dan sanksi tindakan. Selain itu, terkesan adanya keragu-raguan dalam menetapkan jenis dan bentuk sanksi tindakan secara limitatif sehingga dapat mengaburkan pengertian sanksi tindakan itu sendiri menjadi sanksi administratif yang tidak termasuk dalam ruang lingkup hukum kepidanaan.[5] 

C. Pengertian Sanksi Pidana dan Sanksi Tindakan
Sehubungan dengan perbedaan antara sanksi pidana dan sanksi tindakan, serta batasan antara keduanya yang dinilai kabur, maka perlu dipaparkan pendapat para sarjana mengenai dua jenis sanksi tersebut:
1. Satochid Kertanegara:
Dalam salah satu karya tulisnya, Satochid menerangkan bahwa di dalam hukum pidana juga ada sanksi yang bukan bersifat siksaan, yaitu apa yang disebut tindakan (maatregel). Dia menunjuk contoh sanksi yang bukan merupakan siksaan itu terdapat dalam Pasal 45 KUHP.[6]
2. Sudarto:
Pendapatnya menekankan bahwa sanksi pidana adalah penderitaan yang sengaja dibebankan kepada orang yang melakukan perbuatan yang memenuhi syarat-syarat tertentu. Sanksi dalam hukum pidana modern, juga meliputi apa yang disebut tindakan tata tertib. Selanjutnya Sudarto juga menjelaskan bahwa sanksi pidana adalah pembalasan (pengimbalan) terhadap kesalahan si pembuat, sedangkan tindakan adalah untuk perlindungan masyarakat dan untuk pembinaan atau perawatan si pembuat.[7]
3. Andi Hamzah:
Meskipun perbedaan sanksi pidana dan sanksi tindakan menurut Andi Hamzah agak samar, tapi dia memberi penjelasan singkat bahwa sanksi pidana bertitik berat pada pengenaan sanksi pada pelaku suatu perbuatan, sedangkan sanksi tindakan bertujuan melindungi masyarakat.[8] Selanjutnya dia mengutip pendapat Roeslan Saleh bahwa macam sanksi pidana tercantum dalam Pasal 10 KUHP, sedangkan tindakan (maatregel) diluar pasal tersebut.[9]
4. Utrecht:
Secara teoritis, Utrecht melihat perbedaan sanksi pidana dan sanksi tindakan dari sudut tujuannya. Sanksi pidana bertujuan memberi penderitaan istimewa (Bijzonder leed) kepada pelanggar supaya ia merasakan akibat perbuatannya. Sedangkan sanksi tindakan tujuannya lebih bersifat mendidik. Dengan mengutip pendapat Pompe, Utrecht menjelaskan lebih lanjut bahwa sanksi tindakan itu bila ditinjau dari teori-teori pemidanaan merupakan sanksi yang tidak membalas, melainkan semata-mata ditujukan pada prevensi khusus. Sanksi tindakan itu bertujuan melindungi masyarakat terhadap orang-orang berbahaya yang mungkin akan melakukan delik-delik yang dapat merugikan masyarakat.[10]
5. J.E. Jonkers:
Pakar hukum pidana dari Belanda ini juga membedakan jenis sanksi pidana dan sanksi tindakan. Dikatakannya, sanksi pidana dititikberatkan pada pidana yang diterapkan untuk kejahatan yang dilakukan, sedangkan sanksi tindakan mempunyai tujuan yang bersifat sosial.[11] Terdapat kesamaan pandangan antara Roeslan Saleh, Utrecht, Andi Hamzah dan Jonkers tentang lingkup di luar Pasal 10 KUHP yang dikatakan oleh mereka tidak dapat dikualifikasikan sebagai sanksi pidana.
Dari penjelasan-penjelasan di atas, maka sanksi pidana sesungguhnya bersifat reaktif terhadap suatu perbuatan, sedangkan sanksi tindakan lebih bersifat antisipatif terhadap pelaku perbuatan tersebut. Fokus sanksi pidana ditujukan pada perbuatan salah yang telah dilakukan seseorang melalui pengenaan penderitaan agar yang bersangkutan menjadi jera. Fokus sanksi tindakan lebih terarah pada upaya memberi pertolongan pada pelaku agar ia berubah.[12]
Jelaslah, bahwa sanksi pidana lebih menekankan unsur pembalasan (pengimbalan). Ia merupakan penderitaan yang sengaja dibebankan kepada seorang pelanggar. Sedangkan sanksi tindakan bersumber dari ide dasar perlindungan masyarakat dan pembinaan atau perawatan si pembuat.[13] Atau seperti dikatakan J.E. Jonkers, bahwa sanksi pidana dititikberatkan pada pidana yang diterapkan untuk kejahatan yang dilakukan, sedangkan sanksi tindakan mempunyai tujuan yang bersifat sosial.[14]
Berdasarkan tujuannya, sanksi pidana dan sanksi tindakan juga bertolak dari ide dasar yang berbeda. Sanksi pidana bertujuan memberi penderitaan istimewa (Bijzonder leed) kepada pelanggar supaya ia merasakan akibat perbuatannya. Selain ditujukan pada pengenaan penderitaan terhadap pelaku, sanksi pidana juga merupakan bentuk pernyataan pencelaan terhadap perbuatan si pelaku. Dengan demikian, perbedaan prinsip dengan sanksi tindakan terletak pada ada tidaknya unsur pencelaan, bukan pada ada tidaknya unsur penderitaan.[15] Sedangkan sanksi tindakan tujuannya lebih bersifat mendidik.[16]
Jika ditinjau dari teori-teori pemidanaan, maka sanksi tindakan merupakan sanksi yang tidak membalas. Ia semata-mata ditujukan pada prevensi khusus, yakni melindungi masyarakat dari ancaman yang dapat merugikan kepentingan masyarakat itu.[17] Singkatnya, sanksi pidana berorientasi pada ide pengenaan sanksi terhadap pelaku suatu perbuatan, sementara sanksi tindakan berorientasi pada ide perlindungan masyarakat.[18]   

D. Sistem Dua Jalur Dalam UU. No. 32 Tahun 2009
UU. No. 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup secara nyata dan jelas menganut sistem dua jalur (double track system), hal ini terlihat dari penegasan Pasal 119 yang menyatakan:
"Selain pidana sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang ini, terhadap badan usaha dapat dikenakan pidana tambahan atau tindakan tata tertib berupa: 
a. perampasan keuntungan yang diperoleh dari tindak pidana; 
b. penutupan seluruh atau sebagian tempat usaha dan/atau kegiatan; 
c. perbaikan akibat tindak pidana; 
d. pewajiban mengerjakan apa yang dilalaikan tanpa hak; dan/atau 
e. penempatan perusahaan di bawah pengampuan paling lama 3 (tiga) tahun."[19]

Dengan demikian, maka pada prinsipnya semua ketentuan pidana yang ada di dalam Bab XV UU. No. 32 Tahun 2009, dimulai dari Pasal 97 hingga Pasal 116 menganut sistem dua jalur (double track system), karena selain menerapkan sanksi pidana, terhadap pelaku kejahatan juga dapat dikenakan sanksi tindakan. Pendapat penulis ini, mungkin menurut beberapa kalangan adalah hal yang keliru, karena Pasal 119 hanya mengatur sanksi tindakan terhadap badan usaha, maka pasal ketentuan pidana yang dapat dikenakan sanksi pidana sekaligus sanksi tindakan hanyalah Pasal 116 ayat (1) huruf (a) saja:
”Apabila tindak pidana lingkungan hidup dilakukan oleh, untuk, atau atas nama badan usaha, tuntutan pidana dan sanksi pidana dijatuhkan kepada: 
a. badan usaha;”...[20]
  
Namun, menurut penulis justru semua pasal dimulai dari Pasal 97 hingga Pasal 116 menganut sistem dua jalur (double track system), meskipun di pasal-pasal tersebut tidak dituliskan badan usaha. Hal ini menurut penulis harus didasarkan kembali pada Pasal 1 angka (32) Bab I Ketentuan Umum dari UU. No. 32 Tahun 2009 ini, dimana dinyatakan: Setiap orang adalah "orang perseorangan" atau "badan usaha", baik yang berbadan hukum maupun yang tidak berbadan hukum.[21] Maka dengan demikian, jelaslah bahwa semua ketentuan pidana di UU. No. 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup menganut sistem dua jalur (double track system).


[1]Sudarto, Kapita Selekta Hukum Pidana, Alumni, Bandung, 1986, hlm. 63 mengemukakan tiga kelompok yang bisa dikualifikasikan sebagai undang-undang pidana khusus, yaitu: undang-undang yang tidak dikodifikasikan, peraturan-peraturan hukum administratif yang memuat sanksi pidana, dan undang-undang yang memuat hukum pidana khusus (ius speciale) yang memuat delik-delik untuk kelompok orang tertentu atau berhubungan dengan perbuatan tertentu.
[2]Ibid., hlm. 153-156.
[3]Muladi, Hak Azazi Manusia, Politik dan Sistem Peradilan Pidana, Badan Penerbit Universitas Diponegoro, Semarang, 1997, hlm. 151.
[4]Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 1996, hlm. 119.
[5]M.Sholehuddin, Sistem Sanksi Dalam Hukum Pidana, Ide Dasar Double Track System & Implementasinya, PT. RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2003, hlm. 4
[6]Satochid Kertanegara, Hukum Pidana Bagian Satu, Balai Lektur Mahasiswa, t.t., hlm. 49.
[7]Sudarto, Hukum Pidana Jilid I A, Badan Penyediaan Kuliah FH. UNDIP, Semarang, 1973, hlm. 7.
[8]Andi Hamzah, op. cit.
[9]Ibid., hlm.3.
[10]Utrecht, op. cit.
[11]J.E. Jonnkers, Buku Pedoman Hukum Pidana Hindia Belanda, PT. Bina Aksara, Jakarta, 1987, hlm. 350
[12]Bandingkan dengan Muladi dan Barda Nawawi Arief, Teori-Teori dan Kebijakan Pidana, Alumni, Bandung, 1992, hlm. 4.
[13]Sudarto, Hukum Pidana Jilid I A, Badan Penyediaan Kuliah FH.UNDIP, Semarang, 1973, hlm. 7.
[14]J.E. Jonkers, Buku Pedoman...ibid.,
[15]Lihat Muladi dan Barda Nawawi Arief, Teori-Teori..., op.cit., hlm. 5.
[16]Utrecht, Rangkaian Sari Kuliah Hukum Pidana II, Pustaka Tinta Mas, Surabaya, 1987, hlm. 360.
[17]Ibid.
[18]Andi Hamzah, Sistem Pidana dan Pemidanaan Indonesia, Dari Retribusi ke Reformasi, PT. Pradnya Paramita, Jakarta, 1986, hlm.53.
[19]Pasal 119, Undang-Undang No.32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.
[20]Pasal 116 ayat (1) huruf (a), UU. No. 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.
[21]Pasal 1 (angka 32), Bab I Ketentuan Umum, UU. No. 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.     

KEBIJAKAN HUKUM INDONESIA DALAM 
KEJAHATAN KORPORASI MEDIA PENYIARAN


A. Latar Belakang
Melihat sejarah perkembangan korporasi dari abad pertengahan hingga abad ini, akan memberikan gambaran kepada kita hubungan yang erat antara pertumbuhan korporasi yang pesat dengan timbulnya kejahatan korporasi. Pada abad pertengahan, keberadaan korporasi hanya sebagai sarana pengaturan pekerjaan dan pembentukan badan hukum (legal entity) kelompok para individu, seperti serikat pekerja, perkumpulan gereja, universitas, atau wilayah. Pada waktu itu, peranan korporasi lebih ditekankan pada kerjasama (cooperation) daripada tujuan pemanfaatan penyediaan modal seperti korporasi pada umumnya.[1]
Seiring dengan keinginan untuk dilakukannya perluasan usaha, perusahaan-perusahaan besar mulai mencari berbagai format baru untuk pengembangan penggabungan perusahaan, sehingga pada tahun 1920-an, sebagian besar korporasi telah menjangkau seluruh negeri. Dari abad ke-20 hingga abad ke-21 ini, telah terjadi pertumbuhan korporasi multinasional yang begitu cepat, di samping mampu mempekerjakan berjuta-juta tenaga kerja, korporasi multinasional juga mampu mempengaruhi pilihan dan ketergantungan konsumen, serta mendominasi segmen-segmen ekonomi dunia melalui operasi global mereka. Tidak hanya itu, korporasi juga mampu memainkan hukum suatu negara dengan tujuan, untuk mengurangi kontrol yang dilakukan oleh negara.[2]
Pertumbuhan korporasi yang pesat, sejalan dengan akibat yang ditimbulkannya. Korporasi-korporasi raksasa, disertai dengan meningkatnya diversifikasi di berbagai bidang usaha oleh perusahaan-perusahaan raksasa melalui usaha bersama dengan perusahaan-perusahaan domestik maupun perusahaan-perusahaan luar negeri, telah mendorong meningkatnya tindak kejahatan korporasi multinasional dan transnasional.[3]
Kejahatan korporasi ini tidak hanya berpotensi dilakukan oleh perusahaan yang memiliki kegiatan usaha perdagangan (trading) saja, tetapi juga berpotensi dilakukan oleh perusahaan-perusahaan yang bergerak di bidang industri penyiaran informasi (pers industry). Korporasi media yang memiliki jaringan media lokal dan nasional, bahkan jaringan global dengan berbagai jenis bidang usahanya, tentu juga berpotensi melakukan tindak kejahatan korporasi.

B. Pengertian Korporasi
Dalam pergaulan hukum, manusia ternyata bukan satu-satunya pendukung hak dan kewajiban. Di samping manusia, masih ada lagi pendukung hak dan kewajiban yang dinamakan korporasi atau badan hukum (rechtspersoon) untuk membedakan manusia (natuurlijk persoon).[4]
Konsep korporasi (badan hukum) mulanya lahir dalam lingkungan hukum perdata. Hal tersebut sebenarnya suatu ciptaan hukum (fisik hukum), selain manusia alamiah, lalu diciptakan suatu korporasi (badan hukum) yang juga dapat menjadi subjek hukum dengan segala harta kekayaan yang ditimbulkan dari perbuatan itu.
Pengertian korporasi (badan hukum) dalam hukum pidana, adalah sama dengan badan-badan hukum di lapangan hukum perdata, yaitu salah satu bentuk dari badan hukum. Menurut sifatnya, badan hukum di lapangan hukum perdata terbagi atas dua golongan, yakni korporasi dan yayasan.
Menurut Chaidir Ali bahwa korporasi berasal dari kata corporatie (Belanda), corporation (Inggris dan Prancis), corporation (Jerman), di Indonesia disebut dengan istilah badan atau lembaga.[5] Korporasi adalah gabungan orang yang dalam pergaulan hukum bertindak bersama-sama sebagai satu objek hukum tersendiri. Korporasi merupakan badan hukum yang beranggota, tetapi mempunyai hak dan kewajiban tersendiri yang terpisah dari hak dan kewajiban masing-masing.[6]
Menurut E.Utrecht dan Moh.Saleh Djindang, yang dimaksud dengan badan hukum ialah setiap pendukung hak-hak yang tidak berjiwa, atau lebih tepat yang bukan manusia. Badan hukum sebagai gejala kemasyarakatan adalah suatu gejala yang riil, merupakan fakta yang benar dalam pergaulan hukum biarpun tidak berwujud manusia atau benda yang dibuat dari besi, kayu dan sebagainya.[7] Dengan demikian badan hukum menjamin adanya kontinuitas atau kelanjutannya, walaupun pengurus dari badan hukum tersebut selalu berganti.
Badan hukum sebagai pendukung hak dan kewajiban tetap ada dan diteruskan, sedangkan pengurusnya yang menjadi wakil  kontinuitas itu dapat berganti-ganti. Dalam pergaulan hukum ada di kenal bermacam-macam badan hukum, yaitu :[8]
1. Perhimpunan yang dibentuk dengan sengaja dan dengan sukarela oleh orang yang bermaksud memperkuat kedudukan ekonomis mereka, memelihara, kebudayaan, mengurus soal-soal sosial dan sebagainya. Badan hukum ini dapat disebut dalam perseroan terbatas (PT) dalam bahasa Belandanya disebut dengan naamloze venootschap (NV).
2. Persekutuan orang (gemeenschap) yang terbentuk karena faktor-faktor kemasyarakatan dan politik dalam sejarah, misalnya negara propinsi, kabupaten dan desa.
3. Organisasi orang yang didirikan berdasarkan undang-undang tetapi bukan perhimpunan yang termasuk nomor 1.       
4. Yayasan.
Macam-macam badan hukum yang tersebut pada nomor 1, 2 dan 3 itulah yang disebut dengan korporasi.

C. Pertanggungjawaban Pidana Korporasi
Pertanggungjawaban dapat diartikan sebagai perihal atau cara bertanggung jawab atas suatu perbuatan. Dengan demikian perbuatan yang dapat dipertanggungjawabankan yaitu apabila subjek hukum yang melakukan perbuatan pidana tersebut mampu bertanggung jawab.
Lajim dalam hukum pidana orang yang melakukan perbuatan pidana akan dipidana apabila dia mempunyai kesalahan, perbuatan itu diancam dengan pidana, melawan hukum dan perbuatan itu dilakukan oleh orang yang bertanggung jawab. Menurut Roeslan Saleh untuk adanya kesalahan yang mengakibatkan dipidananya terdakwa haruslah melakukan perbuatan pidana, mampu bertanggung jawab, melakukan dengan sengaja atau alpa, tidak ada alasan pemaaf.[9] Dan pengertian orang yang mampu bertanggung jawab itu menurutnya harus memenuhi 3 syarat, antara lain :[10]
1. Dapat  menginsyafi makna yang diperbuatnya
2. Dapat menginsyafi bahwa perbuatannya itu tidak dapat dipandang patut dalam pergaulan masyarakat
3. Mampu untuk menentukan niat atau kehendaknya dalam melakukan perbuatan.
Pendapat Roeslan Saleh tersebut jelaslah bahwa untuk menentukan adanya kemampuan bertanggung jawab itu ditentukan pertama-tama oleh akal, yaitu untuk dapat atau mampu membeda-bedakan antara perbuatan yang diperbolehkan dan yang tidak diperbolehkan. Tetapi mengena faktor yang kedua, yaitu faktor kehendak bukanlah merupakan faktor dalam menentukan mampu tidaknya seseorang bertanggung jawab.         

D. Pengertian Lembaga Penyiaran
UU Penyiaran menetapkan empat macam lembaga penyiaran yaitu :
a. Lembaga Penyiaran Publik
Lembaga penyiaran yang berbentuk badan hukum yang didirikan oleh negara, bersifat independent, netral, tidak komersial, dan berfungsi memberikan layanan untuk kepentingan masyarakat. Lembaga penyiaran publik terdiri atas Radio Republik Indonesia dan Televisi Republik Indonesia. Sumber pembiayaan lembaga penyiaran publik berasal dari iuran penyiaran, Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) dan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD), sumbangan masyarakat, siaran iklan dan usaha lain yang sah yang terkait dengan penyelenggaraan penyiaran.
b. Lembaga Penyiaran Swasta   
Lembaga penyiaran swasta bersifat komersial, berbentuk badan hukum Indonesia, yang bidang usahanya hanya menyelenggarakan jasa penyiaran radio atau televisi, sumber pembiayaan lembaga penyiaran swasta diperoleh dari siaran iklan dan usaha lainnya yang sah yang terkait dengan penyelenggaran penyiaran.
c. Lembaga Penyiaran Komunitas     
Lembaga penyiaran yang didirikan atas biaya yang diperoleh dari kontribusi komunitas tersebut. Sumber pembiayaan lembaga penyiaran komunitas berasal dari sumbangan, hibah, sponsor, dan sumber lainnya.
d. Lembaga Penyiaran Berlanggganan 
Lembaga penyiaran berlangganan, bidang usahanya hanya menyelenggarakan jasa penyiaran berlangganan dengan memancarluaskan atau menyalurkan materi siarannya secara khusus kepada pelanggan melalui radio, televisi, multimedia, atau media informasi lainnya. Lembaga penyiaran berlangganan menyalurkan materi siarannya melalui tiga saluran yaitu : satelit, kabel, terrestrial. Pembiayaan diperoleh melalui iuran berlangganan dan usaha lain yang sah dan terkait dengan penyelenggaraan penyiaran.[11]

E. Pengertian Tindak Pidana
Secara etimologis, istilah “tindak pidana” berasal dari bahasa Belanda strafbaarfeit atau delic. Para sarjana menerjemahkan istilah strafbaarfeit atau delic tersebut dengan berbagai istilah.
Moeljatno mengatakan perbuatan pidana sebagai terjemahan dari strafbaarfeit, adalah perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana barang siapa melanggar ketentuan tersebut dan perbutan tersebut harus pula betul-betul dirasakan oleh masyarakat sebagai perbuatan yang tidak boleh atau menghambat akan tercapainya tata dalam pergaulan masyarakat yang dicita-citakan oleh masyarakat itu.
Menurut R. Tresna, peristiwa pidana sebagai terjemahan dari strafbaarfeit adalah suatu perbuatan atau rangkaian perbuatan manusia, yang bertentangan dengan undang-undang atau peraturan-peraturan lainnya, terhadap perbuatan mana diadakan tindakan penghukuman.[12] Berdasarkan pengertian tindak pidana tersebut, maka beberapa ahli menyatakan bahwa agar suatu peristiwa dapat dikatakan suatu tindak pidana haruslah memenuhi unsur-unsur.
KUHP membagi tindak pidana menjadi 2 (dua) bagian  yaitu Kejahatan (Buku II, 104-488) dan pelanggaran (Buku III, Pasal 489-569). Perkembangan masyarakat menimbulkan berbagai perbuatan yang tidak disebutkan dalam KUHP sebagai tindak pidana, tetapi merugikan dan meresahkan masyarakat. Pemerintah kemudian mengeluarkan berbagai peraturan atau undang-undang yang menyatakan bahwa suatu perbuatan menjadi tindak pidana. Tindak pidana tersebut kemudian disebut dengan tindak pidana di luar KUHP. Ilmu hukum pidana mengenal pembagian tindak pidana antara lain:
a. Didasarkan pada adanya sengaja (dolus) dan tidak sengaja (culpa). Delic dolus adalah delic yang dilakukan dengan sengaja, maksudnya pelanggaran hukum melakukan tindak pidana yang bersangkutan dengan sengaja apabila akibat perbuatannya dikehendaki. Delic culpose (delic karena kekhilapan), maksudnya pelanggaran hukum melakukan tindak pidana dan akibat perbuatannya tidak dikehendaki tetapi masih juga dapat dipertanggungjawabkan kepadanya.
b. Didasarkan pada “delicta commissionis” dengan “delicta omisionis”. Delicta commissionis adalah perbuatan yang melanggar sesuatu yang dilarang. Delicta omissionis adalah perbuatan yang melanggar suatu perintah.
c. Didasarkan pada perbedaan antara tindak pidana formil dan tindak pidana materil. Tindak pidana formil adalah tindak pidana yang dianggap selesai  pada waktu perbuatan yang bersangkutan dilakukan dengan tidak menghiraukan akibat perbuatan tersebut. Tindak pidana materil adalah tindak pidana yang dianggap perbuatan yang bersangkutan menimbulkan akibat.[13]
Roeslan Saleh mengatakan bahwa, mengenai penentuan perbuatan apa yang dipandang sebagai perbuatan pidana, menganut asas bahwa tiap-tiap perbuatan pidana harus ditentukan, oleh suatu aturan Undang-Undang. Asas demikian disebut asas legaliteit.[14] Selanjutnya pendapat yang hampir sama dengan pendapat Roeslan Saleh dikemukakan oleh Simons, sebagaimana dikutip oleh J.M. Van Bemmelen, yang diterjemahkan oleh Hasnan sebagai berikut: “Strafbaarfeit atau tindak pidana itu harus terdapat suatu tindakan yang dilarang atau diwajibkan oleh undang-undang dimana pelanggaran terhadap larangan dan kewajiban semacam itu telah dinyatakan sebagai suatu tindakan yang dapat dihukum, maka tindakan tersebut harus memuat unsur-unsur tindak pidana seperti yang di rumuskan dalam Undang-Undang.”[15]
Menurut asas legalitas bahwa untuk menjatuhkan pidana/sanksi kepada seseorang, diisyaratkan bahwa perbuatan atau peristiwa yang diwujudkan harus lebih dahulu dilarang atau diperintahkan oleh peraturan hukum pidana tertulis dan terhadapnya telah ditetapkan peraturan pidana tertulis atau sanksi hukum. Dengan kata lain harus ada peraturan hukum pidana (strafrechnorm) dan peraturan pidana (strafnorm) lebih dahulu daripada perbuatan/peristiwa. Sekalipun suatu perbuatan sangat tercela, tetapi kalau tidak ada aturan pidana melarang/mewujudkannya tidak boleh dijatuhi pidana. Jadi sifat melawan hukum yang material harus dilengkapi dengan sifat melawan hukum yang formal.[16]
Berdasarkan dari apa yang dikemukakan tentang tindak pidana, maka dapatlah ditentukan bahwa suatu perbuatan akan menjadi tindak pidana apabila perbuatan itu :
1. melawan hukum
2. merugikan masyarakat
3. dilarang oleh aturan pidana
4. berlakunya diancam dengan pidana[17]

F. Tindak Pidana Lembaga Penyiaran
Tindakan penyiaran tidak bebas sebebasnya, ada suatu tindakan dalam penyiaran menjadi suatu tindak pidana di Indonesia sejak diundangkannya Undang-undang No. 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran. Sebelum adanya undang-undang tersebut kegiatan penyiaran tidak ada batasan dalam melakukan kegiatan, meskipun tindakan penyiaran tersebut merugikan pihak lain tindakan tersebut bukanlah tindak pidana karena belum diatur dalam suatu undang- undang.
Undang-undang No. 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran mengatur sanksi yang diberikan pelanggaran non kode etik terdiri atas sanksi pidana dan sanksi administratif. Sanksi pidana terdiri atas membayar denda minimal Rp 5 miliar hingga maksimal Rp 10 miliar atau pidana penjara minimal 2 tahun hingga maksimal 5 tahun, sedangkan sanksi administratif terdiri dari mulai teguran tertulis, penghentian sementara mata acara, pembatasan durasi siaran hingga pencabutan izin penyelenggaraan siaran.
Sanksi pidana dikenakan jika terjadi pelanggaran ketentuan sebagai berikut :
a.   Lembaga penyiaran swasta tidak memberikan kesempatan kepada karyawan untuk memiliki saham perusahaan dan memberikan bagian laba perusahaan (Pasal 17 ayat 3).
b.  Terjadi pemusatan kepemilikan dan penguasaan lembaga penyiaran swasta oleh satu orang atau satu badan hukum, baik disatu wilayah siaran maupun dibeberapa wilayah siaran (Pasal 18 ayat 1) dan kepemilikan silang secara langsung maupun tidak langsung (Pasal 18 ayat 2).
c.   Mendirikan lembaga penyiaran asing di Indonesia (Pasal 30 ayat 1).
d.  Isi siaran dilarang bersifat fitnah, menghasut, menyesatkan dan / atau bohong, menonjolkan kekerasan, cabul, perjudian, penyalahgunaan narkotika dan obat-obatan terlarang, mempertentangkan suku, agama, ras, dan antar golongan (Pasal 36 ayat 5), serta isi siaran dilarang memperolok, merendahkan, melecehkan dan / atau mengabaikan nilai-nilai agama, martabat manusia Indonesia, atau merusak hubungan internasional (Pasal 36 ayat 6).[18]

G. Para Pihak Yang Terkait Dalam Penyiaran
Sebagaimana suatu perusahan, lembaga penyiaran dalam hal ini stasiun televisi juga memiliki struktur organisasi yang sama seperti perusahan lain pada umumnya. Namun, bagian pemberitaan sebagai salah satu unit dalam perusahaan televisi memiliki struktur dan sifat yang tidak sama dengan unit lainnya. Perbedaan tersebut terletak pada pola kerja bagian pemberitaan yang tidak sama dengan bagian lainnya. Struktur organisasi bagian pemberitaan stasiun televisi biasanya terdiri dari sejumlah jabatan mulai dari reporter, juru kamera, koordinator liputan, produser, eksekutif produser, dan direktur pemberitaan.[19]

H. Penutup
Sebagaimana telah disebutkan di atas bahwa korporasi (badan hukum) merupakan subjek di samping manusia. Dan korporasi (badan hukum) itu bukan makhluk hidup sebagaimana halnya manusia. Badan hukum kehilangan daya berpikir, kehendaknya dan tidak mempunyai centeral bewuszijn, karena itu ia tidak melakukan perbuatan-perbuatan hukum sendiri.[20] Di sinilah korporasi (badan hukum) harus bertindak melalui perantaraan manusia, akan tetapi manusia tersebut tidaklah bertindak untuk dirinya sendiri, melainkan untuk kemajuan dari badan hukum itu sendiri.
Ketentuan-ketentuan yang memuat syarat-syarat konstitutif dari badan hukum yang dapat berupa anggaran dasar atau undang-undang serta peraturan-peraturan lainnya, orang-orang mana yang dapat bertindak untuk dan atas pertanggung jawab korporasi (badan hukum). Bila dilihat dari organ alat kelengkapan, seperti pengurus, direksi dan sebagainya dari korporasi (badan hukum) yang merupakan suatu essensialia dari organisasi tersebut. Dengan kata lain hukum akan memperhitungkan perbuatan dari organ tersebut kepada korporasi (badan hukum) dan ini merupakan suatu pengakuan, bahwa organ mewakili badan hukum.
Organ yang melakukan perbuatan pengurusan dan perbuatan penguasaan tidak dapat bertindak semau-maunya atas perhitungan dan pertanggungjawaban badan hukum tersebut, hal ini harus ada batas-batas dan ketentuan-ketentuannya. Organ hanya dapat melibatkan korporasi (badan hukum), jika tindakan-tindakannya di dalam batas wewenangnya yang ditentukan anggaran dasarnya dan ketentuan lainnya dan hakekatnya dari tujuannya itu.
Dalam tindakan dengan tanggung jawab pengurus suatu korporasi (badan hukum), maka perbuatan-perbuatan hukum yang dilakukan oleh pengurus korporasi (badan hukum) di luar batas wewenangnya yang menguntungkan korporasi (badan hukum) dan tindakan itu disetujui ternyata oleh pengurus atau organ yang lebih tinggi, maka terhadap perbuatan pengurus yang sedemikian dapat dipertangungjawabkan kepada korporasi (badan hukum). Perbuatan-perbuatan lainnya yang dilakukan di luar wewenangnya, korporasi (badan hukum) sama sekali tidak terikat dan tidak dapat diminta pertanggungjawabannya. Dalam hal pertanggungjawaban, pimpinan badan hukum lembaga penyiaran bertanggungjawab secara umum atas penyelenggaraan penyiaran dan wajib menunjuk penanggungjawab atas tiap-tiap program yang dilaksanakan.



[1]Marshall B. Clinard dan Peter C. Yeager, Corporate Crime (New York, The Free Press, 1980), hlm. 22.
[2]Ibid., hlm. 24.
[3]Sunarjati Hartono, Beberapa Masalah Transnasional dalam Penanaman Modal Asing di Indonesia (Bandung, Binatjipta, 1972), hlm. 12.
[4]Ali Ridho, Badan Hukum dan Kedudukan Badan Hukum, Perseroan, Perkumpulan, Koperasi, Yayasan, Wakaf (Bandung, Penerbit Alumni 1986), hlm. 21.  
[5]Chaidir Ali, Badan Hukum (Bandung, Penerbit Alumni, 1999), hlm. 66.
[6]Ibid., hlm. 68.

[7] E. Utrecht dan Moh. Saleh Djindang, Pengantar Dalam Hukum Indonesia (Jakarta, Penerbit Erlangga,1995), hlm. 226.

[8] Chaidir Ali, Op. Cit., hlm. 73.

[9]Roeslan Saleh, Perbuatan Pidana dan Pertanggungjawaban Pidana (Jakarta, Penerbit Aksara Baru, 1983), hlm. 11.

[10]Ibid., hlm. 13.

[11]Perhatikan Pasal 13 ayat (2) sampai dengan Pasal 17 Undang-Undang No.32 Tahun 2002 Tentang Penyiaran

[12]E.Y. Kanter dan S.R. Sianturi, Asas-Asas Hukum Pidana Indonesia dan Penerapannya (Jakarta, Storia Grafika, 2002), hlm. 105.

[13]K.Wantjik Saleh, Tindak Pidana Korupsi dan Suap (Jakarta, Ghalia Indonesia, 1983), hlm. 22.

[14]Roeslan Saleh, Perbuatan Pidana dan Pertanggungjawaban Pidana (Jakarta, Penerbit Aksara Baru, 1983), hlm. 4.

[15]J.M.Van Bemmelen, Hukum Pidana I Bagian Umum, Hukum Pidana Material (Omsstrafrecht 1, materiele stafrecht algemeen deel) Terjemahan Hasnan (Bandung, Storia Grafika, 1989), hlm. 135.

[16]A. Zainal Abidin Farid, Hukum Pidana I (Jakarta, Bina Media, 1995), hlm. 132. 

[17]Satochid Kartanegara, Hukum Pidana, Kumpulan Kuliah dan Pendapat-Pendapat Para Ahli Hukum Terkemuka, Bagian Kedua (Jakarta, Penerbit Balai Lektur Mahasiswa, 1989), hlm. 75. 

[18]Perhatikan Pasal 57 dan Pasal 58 Undang-Undang No. 32 Tahun 2002 Tentang Penyiaran

[19]Morrisan, Jurnalistik Televisi Mutakhir (Tanggerang, Penerbit Ramdina Prakarsa, 2005), hlm. 88.   

[20]E. Utrecht dan Moh. Saleh Djindang, Op.Cit., hlm. 25. 

January 18, 2011


HUBUNGAN HUKUM INTERNASIONAL 
DENGAN HUKUM PIDANA INTERNASIONAL 

Setiap negara di dunia dapat dipastikan memiliki hukum nasional yang berbeda dari satu negara dengan negara yang lainnya. Hal ini dikarenakan hukum nasional pada dasarnya, bersumber dari nilai-nilai yang hidup dan tumbuh di dalam masyarakat, berdasarkan corak budaya, dan kearifan lokal yang ada di negara tersebut.
Hukum nasional juga menjadi bentuk eksistensi keberadaan suatu negara, dimana hukum nasional berlaku untuk setiap orang (individu) yang berada di wilayah negara tersebut. Dalam perkembangannya, ketika negara-negara di dunia semakin memiliki rasa keterikatan satu dengan yang lain akan kebutuhannya dalam berbagai aspek, maka kemudian dipandang perlu adanya suatu hukum internasional atau international law yang berlaku secara universal melampaui batas-batas nasionalitas dari suatu negara.

A. Pengertian Hukum Internasional
Beberapa sarjana kemudian mengemukakan pendapatnya mengenai definisi dari hukum internasional, antara lain dikemukakan oleh Grotius dalam bukunya De Jure Belli ac Pacis (Perihal Perang dan Damai). Menurutnya, hukum dan hubungan internasional didasarkan pada kemauan bebas dan persetujuan beberapa atau semua negara. Ini ditujukan demi kepentingan bersama dari mereka yang menyatakan diri di dalamnya.
Definisi hukum internasional yang diberikan oleh Grotius ini masih terbatas pada negara sebagai satu-satunya pelaku hukum dan tidak memasukkan subjek-subjek hukum lainnya. Salah satu definisi yang lebih lengkap kemudian dikemukakan oleh Charles Cheny Hyde : ”hukum internasional dapat didefinisikan sebagai sekumpulan hukum yang sebagian besar terdiri atas prinsip-prinsip dan peraturan-peraturan yang harus ditaati oleh negara-negara, dan oleh karena itu juga harus ditaati dalam hubungan-hubungan antara mereka satu dengan lainnya,  yang juga mencakup :
a. Organisasi internasional, hubungan antara organisasi internasional satu dengan lainnya, hubungan peraturan-peraturan hukum yang berkenaan dengan fungsi-fungsi lembaga atau antara organisasi internasional dengan negara atau negara-negara; dan hubungan antara organisasi internasional dengan individu atau individu-individu;
b. Peraturan-peraturan hukum tertentu yang berkenaan dengan individu-individu dan subyek-subyek hukum bukan negara (non-state entities) sepanjang hak-hak dan kewajiban-kewajiban individu dan subyek hukum bukan negara tersebut bersangkut paut dengan masalah masyarakat internasional”.[1]
Sejalan dengan definisi yang dikeluarkan Hyde, Mochtar Kusumaatmadja mengartikan hukum internasional sebagai keseluruhan kaidah-kaidah dan asas-asas hukum yang mengatur hubungan atau persoalan yang melintasi batas-batas negara, antara negara dengan negara dan negara dengan subjek hukum lain bukan negara atau subyek hukum bukan negara satu sama lain.[2] Berdasarkan pada definisi-definisi di atas, secara sepintas sudah diperoleh gambaran umum tentang ruang lingkup dan substansi dari hukum internasional, yang di dalamnya terkandung unsur subyek atau pelaku, hubungan-hubungan hukum antar subyek atau pelaku, serta hal-hal atau obyek yang tercakup dalam pengaturannya, serta prinsip-prinsip dan kaidah atau peraturan-peraturan hukumnya.
Pada dasarnya yang dimaksud dengan hukum internasional dalam penerapannya terbagi menjadi dua, yaitu: hukum internasional publik dan hukum perdata internasional. Hukum internasional publik adalah keseluruhan kaidah dan asas hukum yang mengatur hubungan atau persoalan yang melintasi batas negara, yang bukan bersifat perdata. Sedangkan hukum perdata internasional adalah keseluruhan kaidah dan asas hukum yang mengatur hubungan perdata yang melintasi batas negara, dengan perkataan lain, hukum yang mengatur hubungan hukum perdata antara para pelaku hukum yang masing-masing tunduk pada hukum perdata yang berbeda.[3]

B. Sejarah Hukum Internasional
Hukum internasional sebenarnya sudah dikenal eksisitensinya sejak zaman Romawi Kuno. Orang-orang Romawi Kuno mengenal dua jenis hukum, yaitu Ius Ceville dan Ius Gentium, Ius Ceville adalah hukum nasional yang berlaku bagi masyarakat Romawi, dimanapun mereka berada, sedangkan Ius Gentium adalah hukum yang diterapkan bagi orang asing, yang bukan berkebangsaan Romawi. Dalam perkembangannya, Ius Gentium berubah menjadi Ius Inter Gentium yang lebih dikenal juga dengan Volkenrecth (Jerman), Droit de Gens (Perancis) dan kemudian juga dikenal sebagai Law of Nations (Inggris).[4]
Hukum internasional modern sendiri mulai berkembang pesat pada abad ke XVI, yaitu sejak ditandatanganinya Perjanjian Westphalia 1648, yang mengakhiri perang 30 tahun (thirty years war) di Eropa. Sejak saat itulah, mulai muncul negara-negara yang bercirikan kebangsaan, kewilayahan atau teritorial, kedaulatan, kemerdekaan dan persamaan derajat. Dalam kondisi semacam inilah sangat dimungkinkan tumbuh dan berkembangnya prinsip-prinsip dan kaidah-kaidah hukum internasional.[5] Perkembangan hukum internasional modern ini, juga dipengaruhi oleh karya-karya tokoh kenamaan Eropa, yang terbagi menjadi dua aliran utama, yaitu golongan Naturalis dan golongan Positivis.
Menurut golongan Naturalis, prinsip-prinsip hukum dalam semua sistem hukum bukan berasal dari buatan manusia, tetapi berasal dari prinsip-prinsip yang berlaku secara universal, sepanjang masa dan yang dapat ditemui oleh akal sehat. Hukum harus dicari, dan bukan dibuat. Golongan Naturalis mendasarkan prinsip-prinsip atas dasar hukum alam yang bersumber dari ajaran Tuhan. Tokoh terkemuka dari golongan ini adalah Hugo de Groot atau Grotius, Fransisco de Vittoria, Fransisco Suarez dan Alberico Gentillis.[6]
Sementara itu, menurut golongan Positivis, hukum yang mengatur hubungan antar negara adalah prinsip-prinsip yang dibuat oleh negara-negara dan atas kemauan mereka sendiri. Dasar hukum internasional adalah kesepakatan bersama antara negara-negara yang diwujudkan dalam perjanjian-perjanjian dan kebiasaan-kebiasaan internasional. Seperti yang dinyatakan oleh Jean Jacques Rousseau dalam bukunya Du Contract Social, La loi c’est l’expression de la Volonte Generale, bahwa hukum adalah pernyataan kehendak bersama. Pada abad XIX, hukum internasional berkembang dengan cepat, karena adanya faktor-faktor penunjang, antara lain :
1. Setelah Kongres Wina 1815, negara-negara Eropa berjanji untuk selalu menggunakan prinsip-prinsip hukum internasional dalam hubungannya satu sama lain,
2. Banyak dibuatnya perjanjian-perjanjian (law-making treaties) di bidang perang, netralitas, peradilan dan arbitrase,
3. Berkembangnya perundingan-perundingan multilateral yang juga melahirkan ketentuan-ketentuan hukum baru.
Di abad XX, hukum internasional mengalami perkembangan yang sangat pesat, karena dipengaruhi faktor-faktor sebagai berikut:
1. Banyaknya negara-negara baru yang lahir sebagai akibat dekolonisasi dan meningkatnya hubungan antar negara,
2. Kemajuan pesat teknologi dan ilmu pengetahuan yang mengharuskan dibuatnya ketentuan-ketentuan baru yang mengatur kerjasama antar negara di berbagai bidang,
3. Banyaknya perjanjian-perjanjian internasional yang dibuat, baik bersifat bilateral, regional maupun bersifat global,
4. Bermunculannya organisasi-organisasi internasional, seperti Perserikatan Bangsa Bangsa dan berbagai organ subsidernya, serta Badan-badan Khusus dalam kerangka Perserikatan Bangsa-Bangsa yang menyiapkan ketentuan-ketentuan baru dalam berbagai bidang.[7] 
  
C. Sejarah Hukum Pidana Internasional
Pada dasarnya, menurut Romli Atmasasmita istilah Hukum Pidana Internasional atau Internationale Strafprocessrecht semula diperkenalkan dan dikembangkan oleh pakar-pakar hukum internasional dari Eropa daratan seperti: Friederich Meili pada tahun 1910 (Swiss) Georg Schwarzenberger pada tahun 1950 (Jerman); Gerhard Mueller pada tahun 1965 (Jerman); J.P. Francois pada tahun 1967; Rolling pada tahun 1979 (Belanda); Van Bemmelen pada tahun 1979 (Belanda), kemudian diikuti oleh para pakar hukum dari Amerika Serikat seperti: Edmund Wise pada tahun 1965 dan Cherif Bassiouni pada tahun 1986 (Amerika Serikat).[8]
Hukum Pidana Internasional atau international criminal law atau internationale strafprocessrecht merupakan cabang ilmu hukum yang relatif baru. Romli Atmasasmita menyebutkan Hukum Pidana Internasional sebagai salah satu cabang ilmu hukum dimulai oleh Gerhard O.W. Mueller dan Edmund M. Wise yang telah menyusun suatu karya tulis International Criminal Law dalam rangka proyek penulisan di bawah judul Comparative Criminal Law Project dari Universitas New York. Pekerjaan ini kemudian dilanjutkan oleh Bassiouni dan V. Nada (1986), yang telah menulis sebuah karya tulis A Treatise on International Criminal Law (1973).[9]

D. Pengertian Hukum Pidana Internasional
Ditinjau dari substansinya maka hukum pidana internasional itu sendiri menunjukkan adanya sekumpulan kaidah-kaidah dan asas-asas hukum pidana yang mengatur tentang kejahatan internasional.[10] Akan tetapi, sebenarnya pengertian Hukum Pidana Internasional tidaklah sesederhana itu. Ruang lingkup dan dimensi dari Hukum Pidana Internasional teramat luas dan bahkan mempunyai 6 (enam) pengertian. 
Romli Atmasasmita lebih lanjut menyebutkan keenam pengertian Hukum Pidana Internasional tersebut mencakup aspek-aspek sebagai berikut:
(1) Hukum Pidana Internasional dalam arti lingkup territorial pidana nasional (internasional criminal law in the meaning of the territorial scope of municipal criminal law) ;
(2) Hukum Pidana Internasional dalam arti kewenangan internasional yang terdapat di dalam hukum pidana internasional (international criminal law in the meaning of internationally priscribel municipal criminal law);
(3) Hukum Pidana Internasional dalam arti kewenangan internasional yang terdapat dalam hukum pidana nasional (international criminal law in the meaning of internationally authorized municipal criminal law);
(4) Hukum Pidana Internasional dalam arti ketentuan hukum pidana nasional yang diakui sebagai hukum yang patut dalam kehidupan masyarakat bangsa yang beradab (international criminal law in the meaning of municipal criminal law common to civilised nations);
(5) Hukum Pidana Internasional dalam arti kerja sama internasional dalam mekanisme administrasi peradilan pidana nasional (international criminal law in the meaning of international co-operation in the administration of municipal criminal justice);
(6) Hukum Pidana International dalam arti materiil (international criminal law in the material sense of the word).[11]
Asumsi di atas menegaskan bahwa Hukum Pidana Internasional teramat luas bukan saja dalam arti lingkup teritorial hukum pidana nasional, akan tetapi juga meliputi aspek internasional baik dalam arti kewenangan internasional yang terdapat dalam hukum pidana nasional, mekanisme administrasi peradilan pidana nasional serta hukum pidana internasional dalam arti materil. Bertolak dari perkembangan zaman, terdapat perbuatan-perbuatan yang dilarang, yang kekuatan berlakunya tidak hanya dipertahankan oleh kedaulatan suatu negara, tetapi juga dipertahankan oleh masyarakat internasional. Perbuatan-perbuatan tersebut kemudian dikualifikasikan sebagai kejahatan internasional yang merupakan substansi pokok dari hukum pidana internasional.
Antonio Cassese mendefinisikan hukum pidana internasional sebagai bagian dari aturan-aturan internasional mengenai larangan-larangan kejahatan internasional dan kewajiban negara melakukan penuntutan dan hukuman beberapa kejahatan. Anthony Aust menyatakan bahwa terminologi hukum pidana internasional biasanya digunakan untuk menggambarkan aspek-aspek internasional yang berkaitan dengan kejahatan-kejahatan internasional.
Menurut Remmelink yang menggunakan istilah “hukum pidana supra nasional”, hukum pidana  internasional pada hakekatnya adalah hukum pidana yang keberlakuannya pada hukum antar bangsa tidak bisa mengesampingkan prinsip-prinsip internasional dan kebiasaan-kebiasaan internasional. Rolling mendefenisikan hukum pidana internasional sebagai hukum yang menentukan hukum pidana nasional yang akan diterapkan terhadap kejahatan-kejahatan yang nyata dilakukan jika terdapat unsur-unsur internasional di dalamnya.
Shinta Agustina dengan mengutip pendapat Edmund.M.Wise menyatakan bahwa hukum pidana internasional dalam pengertian yang paling luas meliputi tiga topik. Pertama, kekuasaan mengadili dari pengadilan negara tertentu terhadap kasus-kasus yang melibatkan unsur asing. Hal ini terkait yurisdiksi tindak pidana internasional, pengakuan putusan pengadilan asing, dan kerjasama antar negara dalam menanggulangi tindak pidana internasional. Kedua, prinsip-prinsip hukum publik internaional yang menetapkan kewajiban pada negara-negara dalam hukum pidana atau hukum acara pidana nasional negara yang bersangkutan. Kewajiban tersebut antara lain adalah kewajiban untuk menghormati hak-hak asasi seorang tersangka atau hak untuk menuntut dan menjatuhi pidana terhadap pelaku tindak pidana internasional. Ketiga, mengenai arti sesungguhnya dan keutuhan pengertian hukum pidana internasional termasuk instrumen penegakan hukumnya.
George Schwarzenberger sebagaimana yang dikutip Romli Atmasasmita, memberi enam pengertian terhadap hukum pidana internasional. Pertama, hukum pidana internasional dalam arti lingkup teritorial hukum pidana nasional. Kedua, hukum pidana internsional dalam arti aspek internasional yang diterapkan sebagai ketentuan dalam hukum pidana nasional. Ketiga, hukum pidana internasional dalam arti ketentuan hukum pidana nasional yang diakui sebagai hukum yang patut dalam kehidupan masyarakat bangsa yang beradab. Kelima, hukum pidana internasional dalam arti kerjasama internasional sebagai mekanisme administrasi peradilan internasional. Keenam, hukum pidana internasional dalam arti kata materiil.
Cherif Bassiouni menyatakan bahwa hukum pidana internasional adalah perpaduan dari dua disiplin hukum yang berbeda, agar dapat saling melengkapi, yaitu aspek-aspek pidana dari hukum pidana internasional dan aspek-aspek internasional dari hukum pidana. Hukum pidana internasional adalah disiplin hukum yang kompleks, yang komponennya lebih dari satu disiplin hukum dan memiliki hubungan fungsional di antaranya. Komponen hukum pidana internasional antara lain adalah hukum internasional, hukum pidana nasional, perbandingan hukum pidana, dan prosedur serta hukum hak asasi manusia internasional dan regional.
Enschede tidak memberikan definisi hukum pidana internasional, namun menyatakan bahwa hukum pidana dalam artian yang luas mencakup hukum pidana internasional yang berkaitan dengan hukum internasional, khususnya kejahatan perang dan kejahatan terhadap kemanusiaan. Ada dua hal yang penting dari hukum pidana internasional. Pertama, materiil hukum pidana internasional adalah perbuatan-perbuatan yang menurut hukum internasional baik berdasarkan hukum kebiasaan internasional maupun berdasarkan konvensi internasional adalah kejahatan internasional. Kedua, formil hukum pidana internasional dalam pengertian penegakan hukum pidana internasional adalah aspek internasional dalam hukum pidana nasional. Secara singkat, hukum pidana internasional didefiniskan sebagai perangkat aturan menyangkut kejahatan-kejahatan internasional yang penegakannya dilakukan oleh negara atas dasar kerjasama internasional atau oleh masyarakat internasional melalui suatu lembaga internasional, baik yang bersifat permanen maupun yang bersifat ad-hoc.[12]

E. Sumber Hukum Pidana Internasional
Sumber hukum adalah tempat dimana kita dapat menemukan atau mengggali suatu hukum. Sumber hukum dapat dibagi menjadi sumber hukum materiil dan sumber hukum formil. Sumber hukum materiil ialah tempat darimana materi hukum itu diambil, sedangkan sumber hukum formil adalah tempat atau sumber darimana suatu peraturan memperoleh kekuatan hukum.
Sumber hukum dalam konteks hukum internasional mengacu pada Pasal 38 Paragraf 1 Statuta Mahkamah Internasional yang menetapkan ketentuan-ketentuan hukum internasional yang dapat diterapkan Mahkamah Internasional dalam menyelesaikan sengketa yang diajukan kepadanya. Sumber hukum bagi hukum internasional tersebut juga berlaku bagi sumber hukum pidana internasional. Pertama, konvensi internasional, yaitu proses penetapan suatu ketentuan menjadi ketentuan hukum internasional yang berlaku umum. Kedua, kebiasaan internasional, yakni bukti praktik umum yang diterima sebagai hukum. Ketiga, prinsip-prinsip umum hukum yang diakui oleh bangsa-bangsa beradab. Keempat, putusan pengadilan dan ajaran para ahli hukum dari berbagai bangsa sebagai sarana pelengkap untuk menetapkan ketentuan-ketentuan umum.[13]

F. Subyek-subyek Hukum Pidana Internasional
1. Individu
Individu atau orang perorangan adalah merupakan subyek hukum, bahkan merupakan subyek hukum yang utama dari hukum pidana internasional. Sebagian besar kejahatan baik dalam skala kecil maupun besar, pelakunya adalah individu, apakah individu dalam melakukannya secara orang-perorangan tanpa terkait dengan siapapun juga, atau dilakukan secara bekerjasama sesuai dengan perannya masing-masing, maupun secara berkelompok bahkan terorganisasikan atau dalam rangka melaksanakan tugas negaranya.
2. Negara
Negara adalah merupakan subyek hukum internasional. Akan tetapi, negara dapat melakukan kejahatan internasional, hanya saja penyelesaiannya tidak berdasarkan ketentuan hukum pidana internasional yang berlaku terhadap individu, melainkan berdasarkan hukum internasional pada umumnya, tegasnya, tentang tanggungjawab negara dalam hukum internsional.
3. Badan-Badan Hukum Swasta
Badan-badan hukum swasta baik nasional maupun transnasional atau multinasional dapat menjadi subyek hukum pidana internasional tetapi dalam ruang lingkup yang terbatas. Misalnya dalam berkenaan dengan kejahatan dalam bidang lingkungan hidup. Atau dalam bidang perekonomian berupa kasus-kasus kejahatan atau tindak pidana ekonomi. Misalnya, pembajakan hasil karya cipta dari orang-orang di suatu negara yang dilakukan oleh badan hukum swasta dari negara lain.

G. Fungsi Hukum Pidana Internasional
Apabila dijabarkan lebih lanjut maka pada pokoknya sebenarnya ada 4 (empat) fungsi dari Hukum Pidana Internasional. Adapun keempat fungsi tersebut adalah sebagai berikut:
1. Agar hukum nasional di masing-masing negara dipandang dari sudut hukum pidana internasional sama derajadnya. Dari aspek ini, maka menempatkan negara-negara di dunia ini tanpa memandang besar atau kecil, kuat atau lemah, maju atau tidaknya, memiliki kedudukan yang sama antara satu dengan lainnya. Oleh karena itu, maka hukum masing-masing diantara negara-negara mempunyai kedudukan yang sama.
2. Agar tidak ada intervensi hukum antara negara satu dengan yang lain. Tegasnya, agar negara besar tidak melakukan intervensi hukum terhadap negara yang lebih kecil. Apabila dijabarkan lebih jauh maka fungsi kedua dari Hukum Pidana Internasional ini merupakan penjabaran dari asas non-intervensi. Menurut asas ini, maka suatu negara tidak boleh campur tangan atas masalah dalam negeri negara lain, kecuali negara itu sendiri menyetujui secara tegas. Jika suatu negara, misalnya dengan menggunakan kekuatan bersenjata berusaha memadamkan ataupun mendukung pemberontakan bersenjata yang terjadi di dalam suatu negara lain tanpa persetujuan negara yang bersangkutan, tindakan ini jelas melanggar asas non-intervensi.
3. Hukum Pidana Internasional juga mempunyai fungsi sebagai “jembatan” atau “jalan keluar” bagi negara-negara yang berkonflik untuk menjadikan Mahkamah Internasional sebagai jalan keluar. Pada dasarnya, Mahkamah Internasional merupakan sebuah lembaga peradilan yang bersifat independen dan tidak memihak yang memutus serta mengadili suatu perkara yang dipersengketakan oleh negara-negara yang berkonflik. Oleh karena itu maka Hukum Pidana Internasional inilah yang merupakan “jembatan” atau “jalan keluar” bagi negara-negara yang berkonflik.
4. Hukum Pidana Internasional juga berfungsi untuk dijadikan landasan agar penegakan Hak Asasi Manusia (HAM) Internasional relatif menjadi lebih baik. Dari perspektif Hukum Pidana Internasional maka asas ini lazim disebut sebagai Asas “penghormatan dan perlindungan terhadap hak-hak asasi manusia”.[14] Asas ini membebani kewajiban kepada negara-negara bahkan kepada siapapun untuk menghormati dan melindungi hak asasi manusia dalam situasi dan kondisi apapun juga. Berdasarkan asas ini, tindakan apapun yang dilakukan oleh negara-negara atas seseorang atau lebih dalam status apapun juga, tindakannya ini tidak boleh melanggar ataupun bertentangan dengan hak asasi manusia. Sebagai contoh, suatu negara membuat peraturan perundang-undangan nasional dalam bidang hukum pidana seperti undang-undang tidak pidana korupsi, terorisme, money loundering, dan lain sebagainya tidak boleh ada ketentuannya yang bertentang dengan hak asasi manusia. Keempat fungsi Hukum Pidana Internasional tersebut merupakan fungsi yang bersifat elementer dan krusial. Apabila dijabarkan, maka keempat fungsi tersebut berhubungan erat. 

H. Hubungan Hukum Internasional dengan Hukum Nasional.
Ada dua teori yang dapat menjelaskan bagaimana hubungan antara hukum internasional dan hukum nasional, yaitu: teori Dualisme dan teori Monisme. Menurut teori Dualisme, hukum internasional dan hukum nasional merupakan dua sistem hukum yang secara keseluruhan berbeda. Hukum internasional dan hukum nasional merupakan dua sistem hukum yang terpisah, tidak saling mempunyai hubungan superioritas atau subordinasi. Berlakunya hukum internasional dalam lingkungan hukum nasional memerlukan ratifikasi menjadi hukum nasional. Kalau ada pertentangan antar keduanya, maka yang diutamakan adalah hukum nasional suatu negara. Sedangkan menurut teori Monisme, hukum internasional dan hukum nasional saling berkaitan satu sama lainnya. Menurut teori Monisme, hukum internasional itu adalah lanjutan dari hukum nasional, yaitu hukum nasional untuk urusan luar negeri. Menurut teori ini, hukum nasional kedudukannya lebih rendah dibanding dengan hukum internasional. Hukum nasional tunduk dan harus sesuai dengan hukum internasional.[15] 

I. Hubungan Antara Hukum Internasional Dengan Hukum Pidana Internasional
Hukum internasional mengenai masalah pidana pada satu pihak dan hukum pidana nasional yang mengandung dimensi internasional, tidaklah terpisah sama sekali melainkan ada hubungan yang juga menampakkan keterpaduan antara keduanya. Kaidah-kaidah hukum pidana internasional yang bersumber dari hukum internasional maupun dari hukum pidana nasional negara-negara, berada dalam suatu hubungan yang sangat erat. Kaidah-kaidah hukum pidana internasional yang berupa perjanjian internasional mengenai suatu kejahatan internasional yang masuk dan menjadi bagian dari hukum pidana nasional negara-negara baik melalui mekanisme ratifikasi disertai dengan pemberlakuannya serta pentransformasiannya ke dalam hukum nasional maupun melalui pengadopsian substansinya menjadi hukum atau undang-undang pidana nasional negara-negara, menjadikan kaidah hukum tersebut ada dalam ruang lingkup hukum internasional maupun nasional dengan jiwa dan semangat yang sama, yakni, kejahatan atau tindak pidana itu harus dicegah dan diberantas demi keamanan, ketentraman, kedamaian masyarakat internasional maupun nasional. Dengan kata lain, keduanya tidaklah terpisah dan berdiri sendiri satu dengan lainnya.
Demikian juga halnya dengan peraturan perundang-undangan pidana nasional suatu negara atau lebih mengenai suatu masalah tertentu yang berkembang menjadi hukum pidana internsional, yakni, dengan dijadikannya sebagai substansi dari suatu perjanjian internasional yang kemudian perjanjian internasional itu diratifikasi, diberlakukan ke dalam dan ditransformasikan menjadi undang-undang pidana nasional. Atau substansi perjanjian internasional itu diadopsi oleh suatu negara lainnya dan dijadikan sebagai substansi dari undang-undang pidana nasionalnya, sehingga substansi perjanjian internasional itu menjadi berlaku secara umum sebab sudah diterima oleh sebagian besar negara-negara di dunia ini.

[1]I Wayan Phartiana, Pengantar Hukum Internasional (Bandung, Penerbit Mandar Maju, 2003), hal. 4.
[2]Mochtar Kusamaatmadja, Pengantar Hukum Internasional (Bandung, Penerbit Bina Cipta, 1999), hal. 2.
[3]Ibid., hal. 1.
[4]Ibid., hal. 4.
[5]I Wayan Phartiana, Pengantar Hukum Internasional (Bandung, Penerbit Mandar Maju, 2003), hal. 41.
[6] Boer Mauna, Hukum Internasional; Pengertian, Peran dan Fungsi dalam Era Dinamika Global (Bandung,  PT. Alumni, 2003), hal. 6.
[7] Ibid., hal. 7.
[8]Romli Atmasasmita, Pengantar Hukum Pidana Internasional (Bandung, Penerbit Refika Aditama, 2003), hal. 19
[9]Ibid., hal. 19.
[10]I Wayan ParthianaHukum Pidana Internasional (Bandung, Penerbit CV Yrama Widya, 2006), hal. 31
[11]Romli Atmasasmita, op. cit., hal. 21.
[12]Eddy O.S. Hiariej, Pengantar Hukum Pidana Internasional (Jakarta, Penerbit Airlangga, 2009), Hal. 7-9
[13] Eddy O.S. Hiariej, opcit., hal. 22.
[14]Lilik Mulyadi, S.H., M.H, “Fungsi Hukum Pidana Internasional Dihubungkan Dengan Kejahatan Transnasional Khususnya Terhadap Tindak Pidana Korupsi”, Paper, Jakarta, hal. 3.
[15]Muhammad Burhantsani, Hukum dan Hubungan Internasional (Yogyakarta, Penerbit Liberty, 1990) hal. 26.