February 21, 2011

ANALISIS SINGLE TRACK DAN DOUBLE TRACK SYSTEM
DALAM UU. NO. 32 TAHUN 2009 TENTANG 
PERLINDUNGAN DAN PENGELOLAAN LINGKUNGAN HIDUP 


A. Latar Belakang
Bila diamati perkembangan hukum pidana dewasa ini di Indonesia, terutama Undang-Undang Pidana Khusus[1] atau perundang-undangan pidana di luar KUHP, terdapat suatu kecenderungan penggunaan sistem dua jalur dalam stelsel sanksinya. Penggunaan “sistem dua jalur” ini sudah menjadi kecenderungan internasional sebagai konsekuensi dianutnya aliran Neo klasik yang berusaha memanfaatkan kelebihan dan meninggalkan kelemahan dari kedua aliran hukum pidana lainnya, yakni aliran Klasik dan aliran Modern. Pendekatan tradisional yang menganggap bahwa seolah-olah sistem “tindakan” hanya dikenakan bagi orang yang “tidak mampu bertangung jawab”, sudah saatnya harus ditinggalkan.[2]

B. Pengertian Sistem Satu Jalur dan Sistem Dua Jalur
Dalam konsep perundang-undangan yang masih menganut sistem satu jalur (single track system), penjatuhan (stelsel) sanksinya hanya meliputi pidana (straf, punishment) yang bersifat penderitaan saja sebagai bentuk penghukuman. Sedangkan dalam konsep perundang-undangan yang menganut sistem dua jalur (double track system), stelsel sanksinya mengatur dua hal sekaligus, yaitu sanksi pidana dan sanksi tindakan.
Menurut Muladi, hukum pidana modern yang bercirikan orientasi pada perbuatan dan pelaku (daad-dader straafrecht), stelsel sanksinya tidak hanya meliputi pidana (straf, punishment) yang bersifat penderitaan, tetapi juga tindakan tata tertib (maatregel, treatment) yang secara relatif lebih bermuatan pendidikan.[3] Namun demikian, sebagai akibat terjadinya perubahan dari pendekatan tradisional itu, jika tidak dilakukan pendekatan konseptual justru akan menambah daftar kekaburan dalam praktek penetapan sanksi pidana dan sanksi tindakan itu sendiri. Hal ini juga diakui oleh Barda Nawawi Arief dalam pernyataannya:
“…pedoman (pemidanaan, pen.) juga dimaksudkan sebagai jembatan untuk menginformasikan prinsip-prinsip atau ide-ide yang melatarbelakangi disusunnya KUHP (Konsep), antara lain : ide untuk mengefektifkan penggabungan jenis sanksi yang bersifat “pidana” (straf/punishment) dengan jenis sanksi yang lebih bersifat “tindakan” (maatregel/treatment), walaupun disadari adanya kekaburan mengenai batas-batas kedua jenis sanksi ini.”[4]

Dari pernyataan Barda Nawawi Arief di atas, dapat ditegaskan bahwa “sistem dua jalur” menimbulkan inconsistency dalam praktek penetapan sanksi. Ketidakkonsistenan ini terlihat pada tumpang tindihnya (overlapping) antara sanksi pidana dan sanksi tindakan. Selain itu, terkesan adanya keragu-raguan dalam menetapkan jenis dan bentuk sanksi tindakan secara limitatif sehingga dapat mengaburkan pengertian sanksi tindakan itu sendiri menjadi sanksi administratif yang tidak termasuk dalam ruang lingkup hukum kepidanaan.[5] 

C. Pengertian Sanksi Pidana dan Sanksi Tindakan
Sehubungan dengan perbedaan antara sanksi pidana dan sanksi tindakan, serta batasan antara keduanya yang dinilai kabur, maka perlu dipaparkan pendapat para sarjana mengenai dua jenis sanksi tersebut:
1. Satochid Kertanegara:
Dalam salah satu karya tulisnya, Satochid menerangkan bahwa di dalam hukum pidana juga ada sanksi yang bukan bersifat siksaan, yaitu apa yang disebut tindakan (maatregel). Dia menunjuk contoh sanksi yang bukan merupakan siksaan itu terdapat dalam Pasal 45 KUHP.[6]
2. Sudarto:
Pendapatnya menekankan bahwa sanksi pidana adalah penderitaan yang sengaja dibebankan kepada orang yang melakukan perbuatan yang memenuhi syarat-syarat tertentu. Sanksi dalam hukum pidana modern, juga meliputi apa yang disebut tindakan tata tertib. Selanjutnya Sudarto juga menjelaskan bahwa sanksi pidana adalah pembalasan (pengimbalan) terhadap kesalahan si pembuat, sedangkan tindakan adalah untuk perlindungan masyarakat dan untuk pembinaan atau perawatan si pembuat.[7]
3. Andi Hamzah:
Meskipun perbedaan sanksi pidana dan sanksi tindakan menurut Andi Hamzah agak samar, tapi dia memberi penjelasan singkat bahwa sanksi pidana bertitik berat pada pengenaan sanksi pada pelaku suatu perbuatan, sedangkan sanksi tindakan bertujuan melindungi masyarakat.[8] Selanjutnya dia mengutip pendapat Roeslan Saleh bahwa macam sanksi pidana tercantum dalam Pasal 10 KUHP, sedangkan tindakan (maatregel) diluar pasal tersebut.[9]
4. Utrecht:
Secara teoritis, Utrecht melihat perbedaan sanksi pidana dan sanksi tindakan dari sudut tujuannya. Sanksi pidana bertujuan memberi penderitaan istimewa (Bijzonder leed) kepada pelanggar supaya ia merasakan akibat perbuatannya. Sedangkan sanksi tindakan tujuannya lebih bersifat mendidik. Dengan mengutip pendapat Pompe, Utrecht menjelaskan lebih lanjut bahwa sanksi tindakan itu bila ditinjau dari teori-teori pemidanaan merupakan sanksi yang tidak membalas, melainkan semata-mata ditujukan pada prevensi khusus. Sanksi tindakan itu bertujuan melindungi masyarakat terhadap orang-orang berbahaya yang mungkin akan melakukan delik-delik yang dapat merugikan masyarakat.[10]
5. J.E. Jonkers:
Pakar hukum pidana dari Belanda ini juga membedakan jenis sanksi pidana dan sanksi tindakan. Dikatakannya, sanksi pidana dititikberatkan pada pidana yang diterapkan untuk kejahatan yang dilakukan, sedangkan sanksi tindakan mempunyai tujuan yang bersifat sosial.[11] Terdapat kesamaan pandangan antara Roeslan Saleh, Utrecht, Andi Hamzah dan Jonkers tentang lingkup di luar Pasal 10 KUHP yang dikatakan oleh mereka tidak dapat dikualifikasikan sebagai sanksi pidana.
Dari penjelasan-penjelasan di atas, maka sanksi pidana sesungguhnya bersifat reaktif terhadap suatu perbuatan, sedangkan sanksi tindakan lebih bersifat antisipatif terhadap pelaku perbuatan tersebut. Fokus sanksi pidana ditujukan pada perbuatan salah yang telah dilakukan seseorang melalui pengenaan penderitaan agar yang bersangkutan menjadi jera. Fokus sanksi tindakan lebih terarah pada upaya memberi pertolongan pada pelaku agar ia berubah.[12]
Jelaslah, bahwa sanksi pidana lebih menekankan unsur pembalasan (pengimbalan). Ia merupakan penderitaan yang sengaja dibebankan kepada seorang pelanggar. Sedangkan sanksi tindakan bersumber dari ide dasar perlindungan masyarakat dan pembinaan atau perawatan si pembuat.[13] Atau seperti dikatakan J.E. Jonkers, bahwa sanksi pidana dititikberatkan pada pidana yang diterapkan untuk kejahatan yang dilakukan, sedangkan sanksi tindakan mempunyai tujuan yang bersifat sosial.[14]
Berdasarkan tujuannya, sanksi pidana dan sanksi tindakan juga bertolak dari ide dasar yang berbeda. Sanksi pidana bertujuan memberi penderitaan istimewa (Bijzonder leed) kepada pelanggar supaya ia merasakan akibat perbuatannya. Selain ditujukan pada pengenaan penderitaan terhadap pelaku, sanksi pidana juga merupakan bentuk pernyataan pencelaan terhadap perbuatan si pelaku. Dengan demikian, perbedaan prinsip dengan sanksi tindakan terletak pada ada tidaknya unsur pencelaan, bukan pada ada tidaknya unsur penderitaan.[15] Sedangkan sanksi tindakan tujuannya lebih bersifat mendidik.[16]
Jika ditinjau dari teori-teori pemidanaan, maka sanksi tindakan merupakan sanksi yang tidak membalas. Ia semata-mata ditujukan pada prevensi khusus, yakni melindungi masyarakat dari ancaman yang dapat merugikan kepentingan masyarakat itu.[17] Singkatnya, sanksi pidana berorientasi pada ide pengenaan sanksi terhadap pelaku suatu perbuatan, sementara sanksi tindakan berorientasi pada ide perlindungan masyarakat.[18]   

D. Sistem Dua Jalur Dalam UU. No. 32 Tahun 2009
UU. No. 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup secara nyata dan jelas menganut sistem dua jalur (double track system), hal ini terlihat dari penegasan Pasal 119 yang menyatakan:
"Selain pidana sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang ini, terhadap badan usaha dapat dikenakan pidana tambahan atau tindakan tata tertib berupa: 
a. perampasan keuntungan yang diperoleh dari tindak pidana; 
b. penutupan seluruh atau sebagian tempat usaha dan/atau kegiatan; 
c. perbaikan akibat tindak pidana; 
d. pewajiban mengerjakan apa yang dilalaikan tanpa hak; dan/atau 
e. penempatan perusahaan di bawah pengampuan paling lama 3 (tiga) tahun."[19]

Dengan demikian, maka pada prinsipnya semua ketentuan pidana yang ada di dalam Bab XV UU. No. 32 Tahun 2009, dimulai dari Pasal 97 hingga Pasal 116 menganut sistem dua jalur (double track system), karena selain menerapkan sanksi pidana, terhadap pelaku kejahatan juga dapat dikenakan sanksi tindakan. Pendapat penulis ini, mungkin menurut beberapa kalangan adalah hal yang keliru, karena Pasal 119 hanya mengatur sanksi tindakan terhadap badan usaha, maka pasal ketentuan pidana yang dapat dikenakan sanksi pidana sekaligus sanksi tindakan hanyalah Pasal 116 ayat (1) huruf (a) saja:
”Apabila tindak pidana lingkungan hidup dilakukan oleh, untuk, atau atas nama badan usaha, tuntutan pidana dan sanksi pidana dijatuhkan kepada: 
a. badan usaha;”...[20]
  
Namun, menurut penulis justru semua pasal dimulai dari Pasal 97 hingga Pasal 116 menganut sistem dua jalur (double track system), meskipun di pasal-pasal tersebut tidak dituliskan badan usaha. Hal ini menurut penulis harus didasarkan kembali pada Pasal 1 angka (32) Bab I Ketentuan Umum dari UU. No. 32 Tahun 2009 ini, dimana dinyatakan: Setiap orang adalah "orang perseorangan" atau "badan usaha", baik yang berbadan hukum maupun yang tidak berbadan hukum.[21] Maka dengan demikian, jelaslah bahwa semua ketentuan pidana di UU. No. 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup menganut sistem dua jalur (double track system).


[1]Sudarto, Kapita Selekta Hukum Pidana, Alumni, Bandung, 1986, hlm. 63 mengemukakan tiga kelompok yang bisa dikualifikasikan sebagai undang-undang pidana khusus, yaitu: undang-undang yang tidak dikodifikasikan, peraturan-peraturan hukum administratif yang memuat sanksi pidana, dan undang-undang yang memuat hukum pidana khusus (ius speciale) yang memuat delik-delik untuk kelompok orang tertentu atau berhubungan dengan perbuatan tertentu.
[2]Ibid., hlm. 153-156.
[3]Muladi, Hak Azazi Manusia, Politik dan Sistem Peradilan Pidana, Badan Penerbit Universitas Diponegoro, Semarang, 1997, hlm. 151.
[4]Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 1996, hlm. 119.
[5]M.Sholehuddin, Sistem Sanksi Dalam Hukum Pidana, Ide Dasar Double Track System & Implementasinya, PT. RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2003, hlm. 4
[6]Satochid Kertanegara, Hukum Pidana Bagian Satu, Balai Lektur Mahasiswa, t.t., hlm. 49.
[7]Sudarto, Hukum Pidana Jilid I A, Badan Penyediaan Kuliah FH. UNDIP, Semarang, 1973, hlm. 7.
[8]Andi Hamzah, op. cit.
[9]Ibid., hlm.3.
[10]Utrecht, op. cit.
[11]J.E. Jonnkers, Buku Pedoman Hukum Pidana Hindia Belanda, PT. Bina Aksara, Jakarta, 1987, hlm. 350
[12]Bandingkan dengan Muladi dan Barda Nawawi Arief, Teori-Teori dan Kebijakan Pidana, Alumni, Bandung, 1992, hlm. 4.
[13]Sudarto, Hukum Pidana Jilid I A, Badan Penyediaan Kuliah FH.UNDIP, Semarang, 1973, hlm. 7.
[14]J.E. Jonkers, Buku Pedoman...ibid.,
[15]Lihat Muladi dan Barda Nawawi Arief, Teori-Teori..., op.cit., hlm. 5.
[16]Utrecht, Rangkaian Sari Kuliah Hukum Pidana II, Pustaka Tinta Mas, Surabaya, 1987, hlm. 360.
[17]Ibid.
[18]Andi Hamzah, Sistem Pidana dan Pemidanaan Indonesia, Dari Retribusi ke Reformasi, PT. Pradnya Paramita, Jakarta, 1986, hlm.53.
[19]Pasal 119, Undang-Undang No.32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.
[20]Pasal 116 ayat (1) huruf (a), UU. No. 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.
[21]Pasal 1 (angka 32), Bab I Ketentuan Umum, UU. No. 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.     

KEBIJAKAN HUKUM INDONESIA DALAM 
KEJAHATAN KORPORASI MEDIA PENYIARAN


A. Latar Belakang
Melihat sejarah perkembangan korporasi dari abad pertengahan hingga abad ini, akan memberikan gambaran kepada kita hubungan yang erat antara pertumbuhan korporasi yang pesat dengan timbulnya kejahatan korporasi. Pada abad pertengahan, keberadaan korporasi hanya sebagai sarana pengaturan pekerjaan dan pembentukan badan hukum (legal entity) kelompok para individu, seperti serikat pekerja, perkumpulan gereja, universitas, atau wilayah. Pada waktu itu, peranan korporasi lebih ditekankan pada kerjasama (cooperation) daripada tujuan pemanfaatan penyediaan modal seperti korporasi pada umumnya.[1]
Seiring dengan keinginan untuk dilakukannya perluasan usaha, perusahaan-perusahaan besar mulai mencari berbagai format baru untuk pengembangan penggabungan perusahaan, sehingga pada tahun 1920-an, sebagian besar korporasi telah menjangkau seluruh negeri. Dari abad ke-20 hingga abad ke-21 ini, telah terjadi pertumbuhan korporasi multinasional yang begitu cepat, di samping mampu mempekerjakan berjuta-juta tenaga kerja, korporasi multinasional juga mampu mempengaruhi pilihan dan ketergantungan konsumen, serta mendominasi segmen-segmen ekonomi dunia melalui operasi global mereka. Tidak hanya itu, korporasi juga mampu memainkan hukum suatu negara dengan tujuan, untuk mengurangi kontrol yang dilakukan oleh negara.[2]
Pertumbuhan korporasi yang pesat, sejalan dengan akibat yang ditimbulkannya. Korporasi-korporasi raksasa, disertai dengan meningkatnya diversifikasi di berbagai bidang usaha oleh perusahaan-perusahaan raksasa melalui usaha bersama dengan perusahaan-perusahaan domestik maupun perusahaan-perusahaan luar negeri, telah mendorong meningkatnya tindak kejahatan korporasi multinasional dan transnasional.[3]
Kejahatan korporasi ini tidak hanya berpotensi dilakukan oleh perusahaan yang memiliki kegiatan usaha perdagangan (trading) saja, tetapi juga berpotensi dilakukan oleh perusahaan-perusahaan yang bergerak di bidang industri penyiaran informasi (pers industry). Korporasi media yang memiliki jaringan media lokal dan nasional, bahkan jaringan global dengan berbagai jenis bidang usahanya, tentu juga berpotensi melakukan tindak kejahatan korporasi.

B. Pengertian Korporasi
Dalam pergaulan hukum, manusia ternyata bukan satu-satunya pendukung hak dan kewajiban. Di samping manusia, masih ada lagi pendukung hak dan kewajiban yang dinamakan korporasi atau badan hukum (rechtspersoon) untuk membedakan manusia (natuurlijk persoon).[4]
Konsep korporasi (badan hukum) mulanya lahir dalam lingkungan hukum perdata. Hal tersebut sebenarnya suatu ciptaan hukum (fisik hukum), selain manusia alamiah, lalu diciptakan suatu korporasi (badan hukum) yang juga dapat menjadi subjek hukum dengan segala harta kekayaan yang ditimbulkan dari perbuatan itu.
Pengertian korporasi (badan hukum) dalam hukum pidana, adalah sama dengan badan-badan hukum di lapangan hukum perdata, yaitu salah satu bentuk dari badan hukum. Menurut sifatnya, badan hukum di lapangan hukum perdata terbagi atas dua golongan, yakni korporasi dan yayasan.
Menurut Chaidir Ali bahwa korporasi berasal dari kata corporatie (Belanda), corporation (Inggris dan Prancis), corporation (Jerman), di Indonesia disebut dengan istilah badan atau lembaga.[5] Korporasi adalah gabungan orang yang dalam pergaulan hukum bertindak bersama-sama sebagai satu objek hukum tersendiri. Korporasi merupakan badan hukum yang beranggota, tetapi mempunyai hak dan kewajiban tersendiri yang terpisah dari hak dan kewajiban masing-masing.[6]
Menurut E.Utrecht dan Moh.Saleh Djindang, yang dimaksud dengan badan hukum ialah setiap pendukung hak-hak yang tidak berjiwa, atau lebih tepat yang bukan manusia. Badan hukum sebagai gejala kemasyarakatan adalah suatu gejala yang riil, merupakan fakta yang benar dalam pergaulan hukum biarpun tidak berwujud manusia atau benda yang dibuat dari besi, kayu dan sebagainya.[7] Dengan demikian badan hukum menjamin adanya kontinuitas atau kelanjutannya, walaupun pengurus dari badan hukum tersebut selalu berganti.
Badan hukum sebagai pendukung hak dan kewajiban tetap ada dan diteruskan, sedangkan pengurusnya yang menjadi wakil  kontinuitas itu dapat berganti-ganti. Dalam pergaulan hukum ada di kenal bermacam-macam badan hukum, yaitu :[8]
1. Perhimpunan yang dibentuk dengan sengaja dan dengan sukarela oleh orang yang bermaksud memperkuat kedudukan ekonomis mereka, memelihara, kebudayaan, mengurus soal-soal sosial dan sebagainya. Badan hukum ini dapat disebut dalam perseroan terbatas (PT) dalam bahasa Belandanya disebut dengan naamloze venootschap (NV).
2. Persekutuan orang (gemeenschap) yang terbentuk karena faktor-faktor kemasyarakatan dan politik dalam sejarah, misalnya negara propinsi, kabupaten dan desa.
3. Organisasi orang yang didirikan berdasarkan undang-undang tetapi bukan perhimpunan yang termasuk nomor 1.       
4. Yayasan.
Macam-macam badan hukum yang tersebut pada nomor 1, 2 dan 3 itulah yang disebut dengan korporasi.

C. Pertanggungjawaban Pidana Korporasi
Pertanggungjawaban dapat diartikan sebagai perihal atau cara bertanggung jawab atas suatu perbuatan. Dengan demikian perbuatan yang dapat dipertanggungjawabankan yaitu apabila subjek hukum yang melakukan perbuatan pidana tersebut mampu bertanggung jawab.
Lajim dalam hukum pidana orang yang melakukan perbuatan pidana akan dipidana apabila dia mempunyai kesalahan, perbuatan itu diancam dengan pidana, melawan hukum dan perbuatan itu dilakukan oleh orang yang bertanggung jawab. Menurut Roeslan Saleh untuk adanya kesalahan yang mengakibatkan dipidananya terdakwa haruslah melakukan perbuatan pidana, mampu bertanggung jawab, melakukan dengan sengaja atau alpa, tidak ada alasan pemaaf.[9] Dan pengertian orang yang mampu bertanggung jawab itu menurutnya harus memenuhi 3 syarat, antara lain :[10]
1. Dapat  menginsyafi makna yang diperbuatnya
2. Dapat menginsyafi bahwa perbuatannya itu tidak dapat dipandang patut dalam pergaulan masyarakat
3. Mampu untuk menentukan niat atau kehendaknya dalam melakukan perbuatan.
Pendapat Roeslan Saleh tersebut jelaslah bahwa untuk menentukan adanya kemampuan bertanggung jawab itu ditentukan pertama-tama oleh akal, yaitu untuk dapat atau mampu membeda-bedakan antara perbuatan yang diperbolehkan dan yang tidak diperbolehkan. Tetapi mengena faktor yang kedua, yaitu faktor kehendak bukanlah merupakan faktor dalam menentukan mampu tidaknya seseorang bertanggung jawab.         

D. Pengertian Lembaga Penyiaran
UU Penyiaran menetapkan empat macam lembaga penyiaran yaitu :
a. Lembaga Penyiaran Publik
Lembaga penyiaran yang berbentuk badan hukum yang didirikan oleh negara, bersifat independent, netral, tidak komersial, dan berfungsi memberikan layanan untuk kepentingan masyarakat. Lembaga penyiaran publik terdiri atas Radio Republik Indonesia dan Televisi Republik Indonesia. Sumber pembiayaan lembaga penyiaran publik berasal dari iuran penyiaran, Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) dan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD), sumbangan masyarakat, siaran iklan dan usaha lain yang sah yang terkait dengan penyelenggaraan penyiaran.
b. Lembaga Penyiaran Swasta   
Lembaga penyiaran swasta bersifat komersial, berbentuk badan hukum Indonesia, yang bidang usahanya hanya menyelenggarakan jasa penyiaran radio atau televisi, sumber pembiayaan lembaga penyiaran swasta diperoleh dari siaran iklan dan usaha lainnya yang sah yang terkait dengan penyelenggaran penyiaran.
c. Lembaga Penyiaran Komunitas     
Lembaga penyiaran yang didirikan atas biaya yang diperoleh dari kontribusi komunitas tersebut. Sumber pembiayaan lembaga penyiaran komunitas berasal dari sumbangan, hibah, sponsor, dan sumber lainnya.
d. Lembaga Penyiaran Berlanggganan 
Lembaga penyiaran berlangganan, bidang usahanya hanya menyelenggarakan jasa penyiaran berlangganan dengan memancarluaskan atau menyalurkan materi siarannya secara khusus kepada pelanggan melalui radio, televisi, multimedia, atau media informasi lainnya. Lembaga penyiaran berlangganan menyalurkan materi siarannya melalui tiga saluran yaitu : satelit, kabel, terrestrial. Pembiayaan diperoleh melalui iuran berlangganan dan usaha lain yang sah dan terkait dengan penyelenggaraan penyiaran.[11]

E. Pengertian Tindak Pidana
Secara etimologis, istilah “tindak pidana” berasal dari bahasa Belanda strafbaarfeit atau delic. Para sarjana menerjemahkan istilah strafbaarfeit atau delic tersebut dengan berbagai istilah.
Moeljatno mengatakan perbuatan pidana sebagai terjemahan dari strafbaarfeit, adalah perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana barang siapa melanggar ketentuan tersebut dan perbutan tersebut harus pula betul-betul dirasakan oleh masyarakat sebagai perbuatan yang tidak boleh atau menghambat akan tercapainya tata dalam pergaulan masyarakat yang dicita-citakan oleh masyarakat itu.
Menurut R. Tresna, peristiwa pidana sebagai terjemahan dari strafbaarfeit adalah suatu perbuatan atau rangkaian perbuatan manusia, yang bertentangan dengan undang-undang atau peraturan-peraturan lainnya, terhadap perbuatan mana diadakan tindakan penghukuman.[12] Berdasarkan pengertian tindak pidana tersebut, maka beberapa ahli menyatakan bahwa agar suatu peristiwa dapat dikatakan suatu tindak pidana haruslah memenuhi unsur-unsur.
KUHP membagi tindak pidana menjadi 2 (dua) bagian  yaitu Kejahatan (Buku II, 104-488) dan pelanggaran (Buku III, Pasal 489-569). Perkembangan masyarakat menimbulkan berbagai perbuatan yang tidak disebutkan dalam KUHP sebagai tindak pidana, tetapi merugikan dan meresahkan masyarakat. Pemerintah kemudian mengeluarkan berbagai peraturan atau undang-undang yang menyatakan bahwa suatu perbuatan menjadi tindak pidana. Tindak pidana tersebut kemudian disebut dengan tindak pidana di luar KUHP. Ilmu hukum pidana mengenal pembagian tindak pidana antara lain:
a. Didasarkan pada adanya sengaja (dolus) dan tidak sengaja (culpa). Delic dolus adalah delic yang dilakukan dengan sengaja, maksudnya pelanggaran hukum melakukan tindak pidana yang bersangkutan dengan sengaja apabila akibat perbuatannya dikehendaki. Delic culpose (delic karena kekhilapan), maksudnya pelanggaran hukum melakukan tindak pidana dan akibat perbuatannya tidak dikehendaki tetapi masih juga dapat dipertanggungjawabkan kepadanya.
b. Didasarkan pada “delicta commissionis” dengan “delicta omisionis”. Delicta commissionis adalah perbuatan yang melanggar sesuatu yang dilarang. Delicta omissionis adalah perbuatan yang melanggar suatu perintah.
c. Didasarkan pada perbedaan antara tindak pidana formil dan tindak pidana materil. Tindak pidana formil adalah tindak pidana yang dianggap selesai  pada waktu perbuatan yang bersangkutan dilakukan dengan tidak menghiraukan akibat perbuatan tersebut. Tindak pidana materil adalah tindak pidana yang dianggap perbuatan yang bersangkutan menimbulkan akibat.[13]
Roeslan Saleh mengatakan bahwa, mengenai penentuan perbuatan apa yang dipandang sebagai perbuatan pidana, menganut asas bahwa tiap-tiap perbuatan pidana harus ditentukan, oleh suatu aturan Undang-Undang. Asas demikian disebut asas legaliteit.[14] Selanjutnya pendapat yang hampir sama dengan pendapat Roeslan Saleh dikemukakan oleh Simons, sebagaimana dikutip oleh J.M. Van Bemmelen, yang diterjemahkan oleh Hasnan sebagai berikut: “Strafbaarfeit atau tindak pidana itu harus terdapat suatu tindakan yang dilarang atau diwajibkan oleh undang-undang dimana pelanggaran terhadap larangan dan kewajiban semacam itu telah dinyatakan sebagai suatu tindakan yang dapat dihukum, maka tindakan tersebut harus memuat unsur-unsur tindak pidana seperti yang di rumuskan dalam Undang-Undang.”[15]
Menurut asas legalitas bahwa untuk menjatuhkan pidana/sanksi kepada seseorang, diisyaratkan bahwa perbuatan atau peristiwa yang diwujudkan harus lebih dahulu dilarang atau diperintahkan oleh peraturan hukum pidana tertulis dan terhadapnya telah ditetapkan peraturan pidana tertulis atau sanksi hukum. Dengan kata lain harus ada peraturan hukum pidana (strafrechnorm) dan peraturan pidana (strafnorm) lebih dahulu daripada perbuatan/peristiwa. Sekalipun suatu perbuatan sangat tercela, tetapi kalau tidak ada aturan pidana melarang/mewujudkannya tidak boleh dijatuhi pidana. Jadi sifat melawan hukum yang material harus dilengkapi dengan sifat melawan hukum yang formal.[16]
Berdasarkan dari apa yang dikemukakan tentang tindak pidana, maka dapatlah ditentukan bahwa suatu perbuatan akan menjadi tindak pidana apabila perbuatan itu :
1. melawan hukum
2. merugikan masyarakat
3. dilarang oleh aturan pidana
4. berlakunya diancam dengan pidana[17]

F. Tindak Pidana Lembaga Penyiaran
Tindakan penyiaran tidak bebas sebebasnya, ada suatu tindakan dalam penyiaran menjadi suatu tindak pidana di Indonesia sejak diundangkannya Undang-undang No. 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran. Sebelum adanya undang-undang tersebut kegiatan penyiaran tidak ada batasan dalam melakukan kegiatan, meskipun tindakan penyiaran tersebut merugikan pihak lain tindakan tersebut bukanlah tindak pidana karena belum diatur dalam suatu undang- undang.
Undang-undang No. 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran mengatur sanksi yang diberikan pelanggaran non kode etik terdiri atas sanksi pidana dan sanksi administratif. Sanksi pidana terdiri atas membayar denda minimal Rp 5 miliar hingga maksimal Rp 10 miliar atau pidana penjara minimal 2 tahun hingga maksimal 5 tahun, sedangkan sanksi administratif terdiri dari mulai teguran tertulis, penghentian sementara mata acara, pembatasan durasi siaran hingga pencabutan izin penyelenggaraan siaran.
Sanksi pidana dikenakan jika terjadi pelanggaran ketentuan sebagai berikut :
a.   Lembaga penyiaran swasta tidak memberikan kesempatan kepada karyawan untuk memiliki saham perusahaan dan memberikan bagian laba perusahaan (Pasal 17 ayat 3).
b.  Terjadi pemusatan kepemilikan dan penguasaan lembaga penyiaran swasta oleh satu orang atau satu badan hukum, baik disatu wilayah siaran maupun dibeberapa wilayah siaran (Pasal 18 ayat 1) dan kepemilikan silang secara langsung maupun tidak langsung (Pasal 18 ayat 2).
c.   Mendirikan lembaga penyiaran asing di Indonesia (Pasal 30 ayat 1).
d.  Isi siaran dilarang bersifat fitnah, menghasut, menyesatkan dan / atau bohong, menonjolkan kekerasan, cabul, perjudian, penyalahgunaan narkotika dan obat-obatan terlarang, mempertentangkan suku, agama, ras, dan antar golongan (Pasal 36 ayat 5), serta isi siaran dilarang memperolok, merendahkan, melecehkan dan / atau mengabaikan nilai-nilai agama, martabat manusia Indonesia, atau merusak hubungan internasional (Pasal 36 ayat 6).[18]

G. Para Pihak Yang Terkait Dalam Penyiaran
Sebagaimana suatu perusahan, lembaga penyiaran dalam hal ini stasiun televisi juga memiliki struktur organisasi yang sama seperti perusahan lain pada umumnya. Namun, bagian pemberitaan sebagai salah satu unit dalam perusahaan televisi memiliki struktur dan sifat yang tidak sama dengan unit lainnya. Perbedaan tersebut terletak pada pola kerja bagian pemberitaan yang tidak sama dengan bagian lainnya. Struktur organisasi bagian pemberitaan stasiun televisi biasanya terdiri dari sejumlah jabatan mulai dari reporter, juru kamera, koordinator liputan, produser, eksekutif produser, dan direktur pemberitaan.[19]

H. Penutup
Sebagaimana telah disebutkan di atas bahwa korporasi (badan hukum) merupakan subjek di samping manusia. Dan korporasi (badan hukum) itu bukan makhluk hidup sebagaimana halnya manusia. Badan hukum kehilangan daya berpikir, kehendaknya dan tidak mempunyai centeral bewuszijn, karena itu ia tidak melakukan perbuatan-perbuatan hukum sendiri.[20] Di sinilah korporasi (badan hukum) harus bertindak melalui perantaraan manusia, akan tetapi manusia tersebut tidaklah bertindak untuk dirinya sendiri, melainkan untuk kemajuan dari badan hukum itu sendiri.
Ketentuan-ketentuan yang memuat syarat-syarat konstitutif dari badan hukum yang dapat berupa anggaran dasar atau undang-undang serta peraturan-peraturan lainnya, orang-orang mana yang dapat bertindak untuk dan atas pertanggung jawab korporasi (badan hukum). Bila dilihat dari organ alat kelengkapan, seperti pengurus, direksi dan sebagainya dari korporasi (badan hukum) yang merupakan suatu essensialia dari organisasi tersebut. Dengan kata lain hukum akan memperhitungkan perbuatan dari organ tersebut kepada korporasi (badan hukum) dan ini merupakan suatu pengakuan, bahwa organ mewakili badan hukum.
Organ yang melakukan perbuatan pengurusan dan perbuatan penguasaan tidak dapat bertindak semau-maunya atas perhitungan dan pertanggungjawaban badan hukum tersebut, hal ini harus ada batas-batas dan ketentuan-ketentuannya. Organ hanya dapat melibatkan korporasi (badan hukum), jika tindakan-tindakannya di dalam batas wewenangnya yang ditentukan anggaran dasarnya dan ketentuan lainnya dan hakekatnya dari tujuannya itu.
Dalam tindakan dengan tanggung jawab pengurus suatu korporasi (badan hukum), maka perbuatan-perbuatan hukum yang dilakukan oleh pengurus korporasi (badan hukum) di luar batas wewenangnya yang menguntungkan korporasi (badan hukum) dan tindakan itu disetujui ternyata oleh pengurus atau organ yang lebih tinggi, maka terhadap perbuatan pengurus yang sedemikian dapat dipertangungjawabkan kepada korporasi (badan hukum). Perbuatan-perbuatan lainnya yang dilakukan di luar wewenangnya, korporasi (badan hukum) sama sekali tidak terikat dan tidak dapat diminta pertanggungjawabannya. Dalam hal pertanggungjawaban, pimpinan badan hukum lembaga penyiaran bertanggungjawab secara umum atas penyelenggaraan penyiaran dan wajib menunjuk penanggungjawab atas tiap-tiap program yang dilaksanakan.



[1]Marshall B. Clinard dan Peter C. Yeager, Corporate Crime (New York, The Free Press, 1980), hlm. 22.
[2]Ibid., hlm. 24.
[3]Sunarjati Hartono, Beberapa Masalah Transnasional dalam Penanaman Modal Asing di Indonesia (Bandung, Binatjipta, 1972), hlm. 12.
[4]Ali Ridho, Badan Hukum dan Kedudukan Badan Hukum, Perseroan, Perkumpulan, Koperasi, Yayasan, Wakaf (Bandung, Penerbit Alumni 1986), hlm. 21.  
[5]Chaidir Ali, Badan Hukum (Bandung, Penerbit Alumni, 1999), hlm. 66.
[6]Ibid., hlm. 68.

[7] E. Utrecht dan Moh. Saleh Djindang, Pengantar Dalam Hukum Indonesia (Jakarta, Penerbit Erlangga,1995), hlm. 226.

[8] Chaidir Ali, Op. Cit., hlm. 73.

[9]Roeslan Saleh, Perbuatan Pidana dan Pertanggungjawaban Pidana (Jakarta, Penerbit Aksara Baru, 1983), hlm. 11.

[10]Ibid., hlm. 13.

[11]Perhatikan Pasal 13 ayat (2) sampai dengan Pasal 17 Undang-Undang No.32 Tahun 2002 Tentang Penyiaran

[12]E.Y. Kanter dan S.R. Sianturi, Asas-Asas Hukum Pidana Indonesia dan Penerapannya (Jakarta, Storia Grafika, 2002), hlm. 105.

[13]K.Wantjik Saleh, Tindak Pidana Korupsi dan Suap (Jakarta, Ghalia Indonesia, 1983), hlm. 22.

[14]Roeslan Saleh, Perbuatan Pidana dan Pertanggungjawaban Pidana (Jakarta, Penerbit Aksara Baru, 1983), hlm. 4.

[15]J.M.Van Bemmelen, Hukum Pidana I Bagian Umum, Hukum Pidana Material (Omsstrafrecht 1, materiele stafrecht algemeen deel) Terjemahan Hasnan (Bandung, Storia Grafika, 1989), hlm. 135.

[16]A. Zainal Abidin Farid, Hukum Pidana I (Jakarta, Bina Media, 1995), hlm. 132. 

[17]Satochid Kartanegara, Hukum Pidana, Kumpulan Kuliah dan Pendapat-Pendapat Para Ahli Hukum Terkemuka, Bagian Kedua (Jakarta, Penerbit Balai Lektur Mahasiswa, 1989), hlm. 75. 

[18]Perhatikan Pasal 57 dan Pasal 58 Undang-Undang No. 32 Tahun 2002 Tentang Penyiaran

[19]Morrisan, Jurnalistik Televisi Mutakhir (Tanggerang, Penerbit Ramdina Prakarsa, 2005), hlm. 88.   

[20]E. Utrecht dan Moh. Saleh Djindang, Op.Cit., hlm. 25.