December 14, 2010


SUBSTANSI HUKUM PROGRESIF DALAM PERUNDANG-UNDANGAN PENGELOLAAN LINGKUNGAN HIDUP


A. PENDAHULUAN
Keberadaan hukum progresif di Indonesia sangat erat hubungannya dengan Satjipto Rahardjo, hal ini tidaklah berlebihan karena pada kenyataannya beliau tidak hanya sebagai penggagas awal tetapi juga pengembang hukum progresif di Indonesia. Bagi Satjipto Rahardjo, hukum bukanlah sekedar logika semata, lebih daripada itu hukum merupakan ilmu sebenarnya (genuine science).

Satjipto Rahardjo lebih melihat hukum sebagai objek ilmu daripada profesi, dengan selalu berusaha untuk memahami atau melihat kaitan dengan hal-hal yang ada dibelakang hukum. Hukum bukanlah sebuah produk yang selesai setelah diundangkan atau hukum tidak selesai ketika tertera menjadi kalimat yang rapih dan bagus, tetapi terus melalui proses pemaknaan yang tidak pernah berhenti maka hukum akan menampilkan jati dirinya sebagai sebuah “ilmu”.

Asas besar yang menjadi landasan filosofi hukum progresif yaitu: “Hukum adalah untuk manusia, bukan sebaliknya”. Konsekuensi dari pemikiran ini membuat hukum bukanlah merupakan sesuatu yang mutlak dan final tetapi selalu “dalam proses menjadi” (law as process, law in the making) yakni menuju kualitas kesempurnaan dalam arti menjadi hukum yang berkeadilan, hukum yang mampu mewujudkan kesejahteraan, atau hukum yang peduli terhadap rakyat.
Oleh karenanya ilmu hukum selalu berada pada suatu pijakan yang sangat labil dan atau selalu berubah (the changing frontier of science) dan ini pula yang disebutnya dengan “the state of the arts in science”. Oleh karena itu kalimat yang senantiasa muncul adalah “hukum selalu mengalami referendum”.

Sebuah teori selanjutnya akan mengalami proses pengkritisan, yaitu terus menerus berada pada wilayah yang labil, selalu berada pada suatu wilayah yang chaos. Artinya disini teori bukan sesuatu yang telah jadi, tetapi sebaliknya akan semakin kuat mendapat tantangan dari berbagai perubahan yang terus berlangsung, dan kemudian selanjutnya akan lahir teori-teori baru sebagai wujud dari perubahan yang terus berlangsung tersebut. Teori baru ini menurut Satjipto Rahardjo pada dasarnya, akan memberikan tambahan ilmu, transformasi, dan proses pemaknaan baru, dengan demikian struktur ilmu berubah secara total.


B. PEMBAHASAN
Perundang-undangan yang mengatur tentang pengelolaan lingkungan hidup juga terus mengalami proses pengkritisan, transformasi menuju kualitas kesempurnaan hukum yang berkeadilan, hukum yang mampu mewujudkan kesejahteraan, atau hukum yang peduli terhadap rakyat. Diawali dengan lahirnya UU. No. 4 Tahun 1982 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Pengelolaan Lingkungan Hidup, disempurnakan menjadi UU. No. 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup, kemudian diperbarui menjadi UU. No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Penyempurnaan ataupun pembaruan perundang-undangan yang mengatur tentang pengelolaan lingkungan hidup ini disebabkan beberapa faktor yaitu Geo-pal, Resoures, dan Iptek.

Munculnya konsep perlindungan hak asasi manusia (HAM) pada tahun 1974 oleh Rene Cassin dalam perkembangannya memasukkan juga hak atas lingkungan yang sehat dan baik (the right to a healthful and decent environment). Hal ini dilatarbelakangi adanya persoalan lingkungan (khususnya pencemaran industri) yang sangat merugikan peri kehidupan masyarakat.

Secara implisit perlindungan dan fungsi lingkungan hidup telah dinyatakan dalam instrumen hak asasi manusia, Internasional Covenant on Economic Social and Culture Right (ICESCR), namun pengakuan secara eksplisit hak atas lingkungan hidup yang sehat (right to a healthy environment) dimulai dalam Deklarasi Stockholm dan Deklarasi Rio sebagai non binding principle.

Untuk Indonesia, pertama kali hak atas lingkungan yang sehat dan baik diakui di dalam UU No. 4 Tahun 1982 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Pengelolaan Lingkungan Hidup, awalnya hanya terdiri dari 24 pasal pokok saja yang kemudian disempurnakan menjadi 52 pasal dalam UU No. 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup. Dalam konsideran dinyatakan bahwa kesadaran dan kehidupan masyarakat dalam kaitannya dengan pengelolaan lingkungan hidup telah berkembang sedemikian rupa sehingga pokok materi sebagaimana diatur dalam UU No. 4 Tahun 1982 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Pengelolaan Lingkungan Hidup perlu disempurnakan untuk mencapai tujuan pembangunan berkelanjutan yang berwawasan lingkungan hidup.

UU No. 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup memiliki beberapa penambahan aturan yang mengatur tentang :

1. Batasan hukum tentang polusi

2. Perbuatan melawan hukum, poluter must pay

3. Legal standing

4. Class Action

5. Strictliability

6. AMDAL

UU No. 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup yang terdiri dari 52 pasal kemudian diperbarui menjadi 127 pasal pokok dalam UU No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Hal ini dilakukan agar lebih menjamin kepastian hukum dan memberikan perlindungan terhadap hak setiap orang untuk mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat sebagai bagian dari perlindungan terhadap keseluruhan ekosistem.
Secara filosofis UU No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup memandang dan menghargai arti penting akan hak-hak asasi manusia berupa hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat bagi warga negara. Hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat di Indonesia diakui sebagai HAM melalui ketetapan MPR RI Nomor XVII/MPR/1998 tentang Hak Asasi Manusia. Di salah satu pasal pada Deklarasi Nasional tentang HAM menetapkan bahwa, “setiap orang berhak atas lingkungan hidup yang sehat dan baik”.

Reformasi yang ingin dibangun dalam UU No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup adalah adanya era otonomi daerah, yang banyak memberi perubahan dalam hubungan dan kewenangan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah, perlu suatu landasan filosofi yang mendasar dalam perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup di daerah-daerah. Bukan rahasia lagi bahwa dengan otonomi daerah yang ditandai adanya UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah, telah memberi suatu kekuasaan pada raja-raja baru di daerah dengan membabat habis sumber daya alam baik berupa hutan, tambang, perkebunan dan lain-lainnya yang semua itu tidak memperhatikan aspek lingkungan.

UU No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, juga memasukkan landasan filosofi tentang konsep pembangunan berkelanjutan dan berwawasan lingkungan dalam rangka pembangunan ekonomi. Ini penting dalam pembangunan ekonomi nasional karena persoalan lingkungan kedepan semakin komplek dan sarat dengan kepentingan investasi. Karenanya persoalan lingkungan adalah persoalan kita semua, baik pemerintah, dunia investasi maupun masyarakat pada umumnya. Kedepan dengan terbitnya UU No.32 Tahun 2009, yang filosofinya begitu menghargai lingkungan, agar setiap orang menghormati hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat, tidak sewenang-wenang dalam memandang dan memanfaatkan kekayaan alam.

No comments:

Post a Comment