December 18, 2010


BANTUAN HUKUM SEBAGAI
HAK DASAR DAN HAK KONSTITUSI WARGA NEGARA

A. PENDAHULUAN
Setiap orang berhak untuk mendapatkan peradilan yang adil dan tidak memihak (fair and impartial court)[1]. Hak ini merupakan salah satu Hak Asasi Manusia, hak mendasar dari setiap manusia yang berlaku secara universal, di manapun, kapan pun dan pada siapapun tanpa adanya diskriminasi.
Indonesia sebagai salah satu Negara Hukum (rechtsstaat) yang menjadi bagian dari komunitas masyarakat dunia, ikut menjamin terlaksananya pemenuhan hak dasar ini bagi setiap warga negaranya. Hal ini dapat kita lihat dari konstitusi Negara Kesatuan Republik Indonesia yaitu Pancasila dan Undang Undang Dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia Tahun 1945 (selanjutnya disebut UUD 1945).
Sila kedua Pancasila yang berbunyi “Kemanusiaan yang adil dan beradab” dan sila kelima Pancasila “Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia”, menunjukkan adanya pengakuan dan penghormatan dari Negara atas hak warga Negara Indonesia untuk keadilan. Dalam UUD 1945, pasal 27 ayat (1) dinyatakan bahwa “Segala warga Negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya.” Selain itu juga ditegaskan bahwa setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama didepan hukum[2].
UUD 1945 juga mengakui hak setiap orang untuk bebas dari perlakuan yang bersifat diskriminatif atas dasar apa pun dan berhak mendapatkan perlindungan terhadap perlakuan yang bersifat diskriminatif itu.[3] Tanggung jawab negara ini harus dapat diimplementasikan melalui ikhtiar-ikhtiar ketatanegaraan pada ranah legislasi, yudikasi dan eksekutorial.[4]
Pendampingan hukum (legal representation) kepada setiap orang tanpa diskriminasi merupakan perwujudan dari perlindungan dan perlakuan yang sama di hadapan hukum (equality before the law).[5] Tanpa adanya pendampingan hukum maka kesetaraan di hadapan hukum sebagaimana diamanatkan konstitusi dan nilai-nilai universal Hak Asasi Manusia tidak akan pernah terpenuhi.
Bantuan hukum (legal aid) adalah sarana bagi warga Negara yang tidak mampu untuk dapat mengakses keadilan sebagai manifestasi jaminan hak-haknya secara konstitusional. Untuk memperoleh definisi yang paling jelas, dalam tata hukum Indonesia istilah bantuan hukum dapat ditemukan dalam Bab I Pasal 1 Poin 9 UU. Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat, bahwa bantuan hukum adalah jasa hukum yang diberikan oleh advokat secara cuma-cuma kepada klien yang tidak mampu. Pemberian bantuan hukum ini, mempunyai manfaat besar bagi perkembangan pendidikan penyadaran hak-hak warga Negara yang tidak mampu khususnya secara ekonomi, dalam akses terhadap keadilan.

B. SEJARAH BANTUAN HUKUM
Sejarah bantuan hukum diklaim oleh sebagian orang berasal dari tradisi hukum Barat yang dikenal sejak fase pencerahan (the enlightenment age), di mana muncul gagasan gerakan kebebasan dan demokrasi. Sebagian pendapat juga menyebutkan bahwa bantuan hukum ada sejak zaman Yunani dan Romawi Kuno, yakni ketika para filsuf Yunani mendiskusikan beberapa aspek yang berkaitan dengan Tuhan, Alam dan Manusia. Misalnya, Socrates (470 SM - 399 SM) yang menjelaskan metode elenchos bagi penegakan hukum. Kemudian Plato (427 SM – 347 SM) yang juga menjelaskan filsafat idealisme tentang ajaran moral hukum.[6] 
Pada tahun 204 SM, kaisar Claudius bahkan telah melegislasikan peran para advokat (lawyers) sebagai suatu profesi di bidang bantuan hukum yang memiliki kemampuan melakukan debat, orasi dan pembelaan hukum di pengadilan seperti halnya di zaman Yunani Kuno. Mereka berperan sebagai konsultan hukum (iuris colsultis), membuat pendapat hukum (legal opinion atau responsa) dan merespon masalah hukum di kalangan masyarakat (a practice known as publice respondere).
Pada abad ke-IV SM, bantuan hukum (legal aid atau legal service) diidentikan pula dengan para orator. Mereka diidentikkan dengan dua hal: Pertama, golongan orang-orang yang memiliki pengetahuan luas, berpendidikan dan selalu berjuang bukan hanya untuk membela hak-haknya di depan hukum dan kekuasaan; dan Kedua, dikenal sebagai para legal yang membela orang-orang lemah dan miskin untuk mendapatkan keadilan di depan hukum dan pengadilan. Kedua aspek ini menjadi dasar bagi adanya peran para advokat (lawyers) dan bantuan hukum dalam praktik peradilan.[7]
Dalam perkembangannya di dunia Barat pada abad ke 19 dan 20, muncul gerakan Hak Asasi Manusia (human rights movement) dimana setiap orang diyakini memiliki persamaan akan hak dan kebebasan. Atas dasar pemahaman tersebut, lahirlah prinsip persamaan hak hukum (equality before the law) dan persamaan hak mendapatkan keadilan (access to justice). Gerakan HAM tersebut kemudian mempengaruhi lahirnya gerakan bantuan hukum (legal aid movement) di negara-negara Eropa, Britania Raya, Amerika Serikat, Kanada dan Australia.[8] 
Pada setiap zaman, arti dan tujuan pemberian bantuan hukum erat hubungannya dengan nilai-nilai moral, pandangan politik dan falsafah hukum yang berlaku. Menurut Mauro Cappalletti, sebagaimana dipetik oleh Adnan Buyung Nasution, bahwa pada zaman Romawi pemberian bantuan hukum oleh Patronus hanyalah didorong oleh motivasi untuk mendapatkan pengaruh dalam masyarakat. Pada abad pertengahan, masalah bantuan hukum ini mendapat motivasi baru, yaitu keinginan semua orang untuk berlomba-lomba memberikan derma (charity) dalam bentuk membantu pihak si miskin dan bersama-sama dengan itu tumbuh pula nilai-nilai kemuliaan (notability) dan kesatriaan (chivalry) yang sangat diragukan orang.[9]
Dalam perkembangannya kemudian, tepatnya sejak zaman revolusi Perancis motivasi pemberian bantuan hukum bukan hanya charity, namun juga menjadi hak-hak politik atau hak-hak warga negara yang harus dituangkan dalam setiap konstitusi. Bantuan hukum bukan semata-mata tuntutan konstitusional, tetapi juga cita-cita ideal negara modern yang sejahtera (welfare state).
Bantuan hukum terkait dengan HAM terutama ide memperjuangkan hak-hak hukum bagi setiap setiap individu, baik dalam masyarakat, di depan hukum, maupun Negara. Atas dasar itu pula, di setiap negara maju seperti di Eropa dan Amerika, bantuan hukum dilihat sebagai tanggung jawab negara bagi kesejahteraan dan keadilan sosial seluruh warga negaranya.

C. SEJARAH BANTUAN HUKUM DI INDONESIA
Jika bantuan hukum diartikan sebagai “charity” maka bantuan hukum di Indonesia sudah ada sejak berkembangnya suku-suku adat di Indonesia. Praktek bantuan hukum terlihat dari adanya praktek gotong royong dalam kehidupan masyarakat adat, dimana dalam masalah-masalah tertentu masyarakat meminta bantuan kepada kepala adat untuk menyelesaikan masalahnya. Kalau hukum diartikan luas maka bantuan adat adalah juga bantuan hukum.
Dalam hukum positif Indonesia, bantuan hukum sudah diatur dalam pasal 250 HIR. Dalam pasal ini jelas mengatur tentang bantuan hukum bagi terdakwa dalam perkara-perkara tertentu yaitu perkara yang diancam dengan hukuman mati dan atau hukuman seumur hidup walaupun dalam pasal ini prakteknya lebih mengutamakan bangsa Belanda daripada bangsa Indonesia. Dan bagi ahli hukum yang ditunjuk wajib memberikan bantuan hukum dengan cuma-cuma.[10]
Secara institusional, lembaga atau biro bantuan hukum dalam bentuk konsultasi hukum pernah didirikan di Rechtshoge School Jakarta pada tahun 1940 oleh Zeylemaker. Biro ini didirikan dengan maksud untuk memberikan nasehat hukum kepada rakyat tidak mampu dan juga untuk memajukan kegiatan klinik hukum.
Pada zaman Hindia Belanda kegiatan bantuan hukum sudah dilaksanakan meski bukan oleh orang yang mempunyai kompetensi dalam bidang hukum, karena mereka tidak berijazah sarjana hukum bahkan ada yang hanya berijazah SR (Sekolah Rakyat). Istilah yang digunakan untuk menyebut mereka adalah pokrol (meminjam istilah procureur).[11] Hal ini bisa dimaklumi karena pada saat itu jumlah advokat dan sarjana hukum belum memadai, ditambah lagi mereka lebih banyak berpraktik di kota-kota besar, maka pokrol bamboo inilah yang banyak melakukan tugas pengacara baik perdata maupun pidana, terutama bagi golongan tidak mampu.
Memasuki era kemerdekaan, khususnya pada masa Orde Lama kepercayaan masyarakat terhadap bantuan hukum sempat hilang. Hal ini karena merosotnya peran advokat sebagai dampak dari sistem peradilan yang tidak bebas dan mandiri, akibat intervensi pemerintah yang terlalu besar. Kondisi ini terlihat dengan banyaknya kompromi yang dilakukan antara hakim dengan jaksa pada waktu memutuskan suatu perkara. Wibawa pengadilan menjadi jatuh dan orang tidak melihat manfaat dari bantuan hukum dan lebih senang meminta pertolongan kepada jaksa, hakim atau orang yang mempunyai pengaruh dalam memutuskan suatu hukum daripada meminta bantuan kepada advokat dalam meminta keadilan untuk dirinya.
Pada tahun 1953 didirikan semacam Biro Konsultasi Hukum pada sebuah perguruan Tionghoa Sim Ming Hui atau Tjandra Naya yang berada di Jakarta. Biro ini didirikan oleh Ting Swan Tiong, ia jugalah orang pertama yang mengusulkan agar Fakultas Hukum Universitas Indonesia mendirikan Biro Konsultasi Hukum yang kemudian hadir pada tahun 1962 (tahun 1968 namanya diubah menjadi Lembaga Konsultasi Hukum lalu pada tahun 1974 diubah lagi menjadi Lembaga Konsultasi dan Bantuan Hukum). 
Berbicara tentang sejarah bantuan hukum di Indonesia tidak lepas dari peranan dua tokoh penting yaitu S.Tasrif, dan Adnan Buyung Nasution. S.Tasrif dalam sebuah artikel yang ditulisnya di Harian Pelopor Baru tanggal 16 Juli 1968 menjelaskan bahwa bantuan hukum bagi si miskin merupakan satu aspek cita-cita dari rule of the law. Kemudian untuk mewujudkan idenya tersebut, S.Tasrif mohon kepada Ketua Pengadilan Jakarta untuk diberikan satu ruangan yang dapat digunakan untuk para advokat secara bergiliran untuk memberikan bantuan hukum.[12]
Adnan Buyung Nasution, dalam Kongres Peradin III tahun 1969 mengajukan ide tentang perlunya pembentukan Lembaga Bantuan Hukum yang dalam Kongres tersebut akhirnya mengesahkan berdirinya Lembaga Bantuan Hukum di Indonesia. Kemudian ditindaklanjuti dengan berdirinya LBH Jakarta yang pada akhirnya diikuti berdirinya LBH-LBH lainnya di seluruh Indonesia. Dengan adanya LBH-LBH di seluruh Indonesia maka muncul Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) yang bertujuan untuk mengorganisir dan menjadi naungan LBH-LBH. YLBHI menyusun garis-garis program yang akan dilaksanakan bersama di bawah satu koordinasi sehingga diharapkan kegiatan-kegiatan bantuan hukum dapat dikembangkan secara nasional dan lebih terarah di bawah satu koordinasi.[13]

D. KONSEP UMUM BANTUAN HUKUM
Dalam perkembangan bantuan hukum, banyak pemikiran-pemikiran dan pendapat dari para ahli hukum yang timbul yang kemudian mengarah kepada variasi bantuan hukum yang diberikan kepada masyarakat. Cappelleti dan Gordley dalam artikel yang berjudul “Legal Aid: Modern Themes and Variations”, seperti dikutip Soerjono Soekanto membagi bantuan hukum ke dalam dua model, yaitu bantuan hukum model yuridis individual dan bantuan hukum model kesejahteraan.
Menurut Cappelleti dan Gordley, bantuan hukum yuridis individual merupakan hak yang diberikan kepada warga masyarakat untuk melindungi kepentingan individualnya. Pelaksanaan bantuan hukum ini tergantung dari peran aktif masyarakat yang membutuhkan dimana mereka dapat meminta bantuan pengacara dan kemudian jasa pengacara tersebut nantinya akan dibayar oleh Negara. Sedangkan bantuan hukum kesejahteraan diartikan sebagai suatu hak akan kesejateraan yang menjadi bagian dari kerangka perlindungan sosial yang diberikan oleh suatu Negara kesejahteraan.
Berbeda dengan Schuyt, Groenendijk dan Sloot, mereka membedakan bantuan hukum ke dalam lima jenis, yaitu:
1. Bantuan Hukum Preventif; bantuan hukum yang dilaksanakan dalam bentuk pemberian penerangan dan penyuluhan hukum kepada masyarkat sehingga mereka mengerti akan hak dan kewajibannya sebagai warga Negara.
2. Bantuan Hukum Diagnostik; bantuan hukum yang dilaksanakan dengan pemberian nasehat-nasehat hukum atau biasanya dikenal dengan konsultasi hukum.
3. Bantuan Hukum Pengendalian Konflik; bantuan hukum yang lebih bertujuan mengatasi secara aktif permasalahan-permasalahan hukum konkret yang terjadi di masyarakat. Biasanya dilakukan dengan cara memberikan asistensi hukum kepada anggota masyarakat yang tidak mampu menyewa/menggunakan jasa advokat untuk memperjuangkan kepentingannya
4. Bantuan Hukum Pembentukan Hukum; bantuan hukum yang dimaksudkan untuk memancing yurisprudensi yang lebih tegas, tepat, jelas, dan benar.
5. Bantuan Hukum Pembaruan Hukum; bantuan hukum yang lebih ditujukan bagi pembaruan hukum, baik itu melalui hakim atau melalui pembentukan undang-undang.

E. PROBLEMATIKA BANTUAN HUKUM
Pemerintah telah menerbitkan Peraturan Pemerintah (PP) No. 83 Tahun 2008 tentang Persyaratan dan Tata Cara Pemberian Bantuan Hukum Secara Cuma-Cuma. Ini merupakan sebuah hal yang baik bagi seluruh lapisan masyarakat, khususnya bagi masyarakat yang tergolong lemah kemampuan ekonominya.
Berdasarkan PP No. 83 Tahun 2008, kewajiban memberikan bantuan hukum secara cuma-cuma oleh advokat tidak terlepas dari prinsip persamaan di hadapan hukum dan hak setiap orang untuk didampingi advokat tanpa kecuali. Ini juga merupakan bentuk pengabdian advokat dalam menjalankan profesinya.
Pasal 1 ayat (9) Undang-undang No. 18 Tahun 2003 tentang Advokat menyatakan: “Bantuan Hukum adalah jasa hukum yang diberikan oleh advokat secara cuma-cuma kepada klien yang tidak mampu”.[14] Ini berarti di saat seorang advokat memberikan bantuan hukum dimaksud, secara hukum, dilarang menerima bayaran. Inilah yang membedakan jasa hukum yang diberikan oleh advokat dengan menerima bayaran (komersial), dengan bantuan hukum yang diberikan oleh advokat tanpa menerima bayaran (pro bono). 
Kata pro bono berarti gratis. Orang sering salah mengartikannya dengan kata pro deo. Sedangkan sesungguhnya pro deo berarti untuk / demi Tuhan, artinya di saat seorang advokat memberi bantuan hukum secara cuma-cuma dia membantu Pencari Keadilan yang tidak mampu tersebut dengan suatu tujuan mulia.
Pasal 1 ayat (3) Peraturan Pemerintah No. 83 Tahun 2008 tentang Persyaratan dan Tata Cara Pemberian Bantuan Hukum Secara Cuma-Cuma, menyatakan: “Bantuan Hukum secara cuma-cuma adalah jasa hukum yang diberikan Advokat tanpa menerima pembayaran honorarium meliputi pemberian konsultasi hukum, menjalankan kuasa, mewakili, mendampingi, membela, dan melakukan tindakan hukum lain untuk kepentingan pencari keadilan yang tidak mampu”.[15] 
Kewajiban advokat memberikan bantuan hukum cuma-cuma diatur dalam pasal 22 ayat (1) Undang-undang No. 18 Tahun 2003 tentang Advokat yang menyatakan: “Advokat wajib memberikan bantuan hukum secara cuma-cuma kepada pencari keadilan yang tidak mampu.”[16] Pasal 4 huruf f Kode Etik Advokat Indonesia menyatakan: “Advokat dalam mengurus perkara cuma-cuma harus memberikan perhatian yang sama seperti terhadap perkara untuk mana ia menerima uang jasa.” Pasal 2 Peraturan Pemerintah No. 83 Tahun 2008 tentang Persyaratan dan Tata Cara Pemberian Bantuan Hukum Secara Cuma-cuma menyatakan:
1) Advokat dilarang menolak permohonan bantuan hukum secara cuma-cuma.
2) Dalam hal terjadi penolakan permohonan pemberian bantuan hukum sebagaimana dimaksud pada ayat (1), pemohon dapat mengajukan keberatan kepada Organisasi Advokat atau Lembaga Bantuan Hukum yang bersangkutan.
Pasal 13 Peraturan Pemerintah No. 83 Tahun 2008 tentang Persyaratan dan Tata Cara Pemberian Bantuan Hukum Secara Cuma-cuma menyatakan: “Advokat dalam memberikan Bantuan Hukum Secara Cuma-cuma dilarang menerima atau meminta pemberian dalam bentuk apapun dari Pencari Keadilan.” Pasal 14 Peraturan Pemerintah No. 83 Tahun 2008 tentang tentang Persyaratan dan Tata Cara Pemberian Bantuan Hukum Secara Cuma-cuma menyatakan:
1) Advokat yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 dan pasal 13 dijatuhi sanksi oleh Organisasi Advokat.
2) Sanksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berupa:
a) Teguran lisan;
b)Teguran tertulis;
c) Pemberhentian sementara dari profesinya selama 3 (tiga) sampai dengan 12 (dua belas) bulan berturut-turut; atau
d) Pemberhentian tetap dari profesinya.
Dengan adanya berbagai dasar hukum di atas, kita dapat melihat berbagai penyimpangan yang terjadi dalam proses bantuan hukum, salah satunya adalah penolakan kasus oleh pengacara, padahal aturan menegaskan ia berkewajiban untuk menerima dan menangani perkara secara cuma-cuma sebagai bentuk bantuan hukum. Kewajiban advokat memberikan bantuan hukum cuma-cuma diatur dalam pasal 22 ayat (1) Undang-undang No. 18 Tahun 2003 tentang Advokat yang menyatakan: “Advokat wajib memberikan bantuan hukum secara cuma-cuma kepada pencari keadilan yang tidak mampu”.
Lahirnya Undang-undang nomor 18 tahun 2003 tentang advokat, boleh dikatakan merupakan suatu upaya untuk menghadirkan suatu pilihan profesi independen dan mandiri, diluar lembaga peradilan dan institusi penegak hukum yang telah ada. Fungsinya untuk menyediakan layanan hukum kepada masyarakat pencari keadilan (tersangka, terdakwa, saksi, bahkan korban). Tujuannya, selain untuk membantu proses hukum masyarakat adalah untuk mendukung proses pemberdayaan masyarakat yang untuk memahami hak-hak fundamentalnya di depan hukum, sehingga budaya cerdas hukum bisa segera diciptakan.
Permasalahan mulai muncul ketika profesi advokat yang mandiri dan independen ini dipandang kurang efektif dalam memberikan jaminan hukum serta akses publik yang seluas-luasnya bagi khalayak. Pasal demi pasal dalam Undang-undang Advokat senantiasa menciptakan diskursus profesional semata tanpa adanya pengaturan lebih lanjut tentang bagaimana para advokat harus melayani klien yang terganjal problem ekonomi. Walaupun klausula dalam UU No. 18 Tahun 2003 pasal 22 telah dengan gamblang mewajibkan advokat untuk memberikan pelayanan hukum cuma-cuma kepada kliennya yang kurang mampu, hal ini masih saja belum cukup menjawab permasalahan sulitnya akses hukum dan keadilan yang merata dan sederajat.

F. PENUTUP
Bantuan hukum adalah salah satu pranata sosial yang bergerak di sektor pelayanan masyarakat untuk mendapatkan keadilan dan menjamin hak-hak dasar setiap individu dalam bingkai pemenuhan hak asasi manusia. Penerima Bantuan Hukum adalah setiap orang, kelompok masyarakat atau badan hukum publik yang menjadi korban ketidakadilan hukum yang memenuhi syarat sebagaimana diatur dalam undang-undang ini. Munculnya gerakan advokasi dan praktik bantuan hukum kepada masyarakat yang tertindas dan terpinggirkan telah menjadi daya dobrak yang sangat ampuh dari kalangan praktisi hukum untuk berperan lebih proaktif membela mereka dalam ranah bantuan hukum dan pemenuhan hak asasi manusia. Namun sayangnya, bantuan hukum belum maksimal karena masih terhambat masalah regulasi di mana belum adanya perundang-undangan tersendiri tentang bantuan hukum.
Bantuan hukum kini hanya menjadi sub materi yang dimuat dalam UU Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat. Kemampuan praktisi bantuan hukum dalam memberikan pelayanan bantuan hukum secara professional dan dibarengi dengan kekuatan akses pada tingkat birokrasi, telah memperkokoh eksistensi dan posisi mereka lebih dari sekedar pengacara dan advokat, tetapi juga mediator dalam penyelesaian kasus-kasus pelanggaran hukum di dalam peradilan (litigasi) dan di luar peradilan (non-litigasi). Meskipun dalam kenyataan saat ini, usaha mereka terkadang dianggap bias antara kepentingan membela keadilan dengan tujuan material atas nama profesionalisme.
Negara, sebagai organisasi publik yang memiliki kewajiban menjamin ketersediaan pelayanan publik, termasuk pelayanan publik di bidang hukum, dalam konteks ini terkesan belum terlalu menampilkan fungsinya tersebut. Walaupun UUD 1945 tidak dengan tegas menyatakan bahwa bantuan hukum (legal aid) merupakan kewajiban Negara, namun dengan adanya prinsip persamaan di depan hukum jelas memberikan isyarat bahwa Negara wajib memperhatikan permasalahan bantuan hukum yang merupakan salah satu gerbang pemenuhan akses keadilan masyarakat.
Ketidakseriusan Negara berkaitan dengan permasalahan bantuan hukum dapat dilihat dari tidak tersedianya infrastruktur dan suprastruktur bantuan hukum secara memadai. Dalam tata perundang-undangan Indonesia misalnya, Indonesia hanya memiliki UU No 18 tahun 2003 tentang advokat yang dijadikan satu-satunya acuan teknis pemberian bantuan hukum bagi masyarakat. Hal ini sangat berbeda bila kita bandingkan dengan Negara-negara lain seperti Australia, Afrika Selatan dan Taiwan yang sudah memiliki instrument legal khusus yang mengatur permasalahan “bantuan hukum cuma-cuma” berupa Undang-undang di samping instrumen legal lainnya terkait advokat.
Selama ini yang terjadi adalah adanya kesemrawutan dalam konsep bantuan hukum dalam bentuk ada kantor-kantor advokat yang mengaku sebagai lembaga bantuan hukum tetapi sebenarnya berpraktik komersial dan memungut fee yang menyimpang dari konsep pro bono publico yang sebenarnya merupakan kewajiban dari advokat. Untuk itu diperlukan undang-undang bantuan hukum sebagai konsekuensi pengakuan konsep bantuan hukum dalam UU Advokat. Ditambah lagi melihat Pasal 34 ayat (1) UUD 1945 pengakuan hak sipil, politik, ekonomi, sosial, dan budaya dari fakir miskin yang berarti adanya pengakuan terhadap hak untuk dibela oleh advokat atau pembela umum bagi fakir miskin, maka undang-undang bantuan hukum mutlak diperlukan dalam rangka mempertegas hak untuk memperoleh bantuan hukum bagi fakir miskin.
Sebagaimana telah diuraikan sebelumnya perangkat hukum positif yang ada kurang memadai untuk menunjang konsep bantuan hukum sebagai hak konstitusional. Oleh karena itu bantuan hukum perlu dijabarkan lebih lanjut di dalam undang-undang bantuan hukum yang memuat konsep, fungsi, dan sifat dari bantuan hukum. Serta konsep bantuan hukum dinyatakan secara jelas dan tegas di dalam UUD 1945, agar hak konstitusional rakyat untuk memperoleh bantuan hukum dapat terjamin.

[1] Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia, Kovenan Hak-hak Sipil dan Politik (diratifikasi dengan UU Nomor 11 Tahun 2005).
[2] Pasal 28D ayat (1) UUD 1945
[3] Pasal 28I ayat (2) UUD 1945
[4] Pasal 2 ayat (2) Kovenan Hak-hak Sipil dan Politik (diratifikasi dengan UU Nomor 11 Tahun 2005).
[5] Hamzah, Andi. Hukum Acara Pidana Indonesia, CV Sapta Artha Jaya, Jakarta, 1996
[6] Mertokusumo, Sudikno. Mengenal Hukum, Liberty, Yogyakarta, 1988
[7] Binziadi Kadafi. Advokat Indonesia Mencari Legitimasi, PSHK, Jakarta, 2001.
[8] Nasution, Adnan Buyung. Bantuan Hukum di Indonesia, LP3ES, Jakarta, 1988
[9] ibid
[10] Hamzah, Andi. Hukum Pidana Indonesia, Jakarta, CV Sapta Artha Jaya, 1996
[11] Pada umumnya procureur sama artinya dengan advokat, kecuali dimaksudkan khusus bagi ahli hukum yang beracara pada bidang acara perdata.
[12] Binziadi Kadafi. Advokat Indonesia Mencari Legitimasi, PSHK, Jakarta, 2001.
[13] Op citNasution, Adnan Buyung. Bantuan Hukum di Indonesia, LP3ES, Jakarta, 1988
[14] Undang-Undang No. 18 Tahun 2003 tentang Advokat
[15] Peraturan Pemerintah No. 83 Tahun 2008 tentang Persyaratan dan Tata Cara Pemberian Bantuan Hukum Secara Cuma-Cuma
[16] Undang-Undang No. 18 Tahun 2003 tentang Advokat

December 14, 2010


SUBSTANSI HUKUM PROGRESIF DALAM PERUNDANG-UNDANGAN PENGELOLAAN LINGKUNGAN HIDUP


A. PENDAHULUAN
Keberadaan hukum progresif di Indonesia sangat erat hubungannya dengan Satjipto Rahardjo, hal ini tidaklah berlebihan karena pada kenyataannya beliau tidak hanya sebagai penggagas awal tetapi juga pengembang hukum progresif di Indonesia. Bagi Satjipto Rahardjo, hukum bukanlah sekedar logika semata, lebih daripada itu hukum merupakan ilmu sebenarnya (genuine science).

Satjipto Rahardjo lebih melihat hukum sebagai objek ilmu daripada profesi, dengan selalu berusaha untuk memahami atau melihat kaitan dengan hal-hal yang ada dibelakang hukum. Hukum bukanlah sebuah produk yang selesai setelah diundangkan atau hukum tidak selesai ketika tertera menjadi kalimat yang rapih dan bagus, tetapi terus melalui proses pemaknaan yang tidak pernah berhenti maka hukum akan menampilkan jati dirinya sebagai sebuah “ilmu”.

Asas besar yang menjadi landasan filosofi hukum progresif yaitu: “Hukum adalah untuk manusia, bukan sebaliknya”. Konsekuensi dari pemikiran ini membuat hukum bukanlah merupakan sesuatu yang mutlak dan final tetapi selalu “dalam proses menjadi” (law as process, law in the making) yakni menuju kualitas kesempurnaan dalam arti menjadi hukum yang berkeadilan, hukum yang mampu mewujudkan kesejahteraan, atau hukum yang peduli terhadap rakyat.
Oleh karenanya ilmu hukum selalu berada pada suatu pijakan yang sangat labil dan atau selalu berubah (the changing frontier of science) dan ini pula yang disebutnya dengan “the state of the arts in science”. Oleh karena itu kalimat yang senantiasa muncul adalah “hukum selalu mengalami referendum”.

Sebuah teori selanjutnya akan mengalami proses pengkritisan, yaitu terus menerus berada pada wilayah yang labil, selalu berada pada suatu wilayah yang chaos. Artinya disini teori bukan sesuatu yang telah jadi, tetapi sebaliknya akan semakin kuat mendapat tantangan dari berbagai perubahan yang terus berlangsung, dan kemudian selanjutnya akan lahir teori-teori baru sebagai wujud dari perubahan yang terus berlangsung tersebut. Teori baru ini menurut Satjipto Rahardjo pada dasarnya, akan memberikan tambahan ilmu, transformasi, dan proses pemaknaan baru, dengan demikian struktur ilmu berubah secara total.


B. PEMBAHASAN
Perundang-undangan yang mengatur tentang pengelolaan lingkungan hidup juga terus mengalami proses pengkritisan, transformasi menuju kualitas kesempurnaan hukum yang berkeadilan, hukum yang mampu mewujudkan kesejahteraan, atau hukum yang peduli terhadap rakyat. Diawali dengan lahirnya UU. No. 4 Tahun 1982 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Pengelolaan Lingkungan Hidup, disempurnakan menjadi UU. No. 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup, kemudian diperbarui menjadi UU. No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Penyempurnaan ataupun pembaruan perundang-undangan yang mengatur tentang pengelolaan lingkungan hidup ini disebabkan beberapa faktor yaitu Geo-pal, Resoures, dan Iptek.

Munculnya konsep perlindungan hak asasi manusia (HAM) pada tahun 1974 oleh Rene Cassin dalam perkembangannya memasukkan juga hak atas lingkungan yang sehat dan baik (the right to a healthful and decent environment). Hal ini dilatarbelakangi adanya persoalan lingkungan (khususnya pencemaran industri) yang sangat merugikan peri kehidupan masyarakat.

Secara implisit perlindungan dan fungsi lingkungan hidup telah dinyatakan dalam instrumen hak asasi manusia, Internasional Covenant on Economic Social and Culture Right (ICESCR), namun pengakuan secara eksplisit hak atas lingkungan hidup yang sehat (right to a healthy environment) dimulai dalam Deklarasi Stockholm dan Deklarasi Rio sebagai non binding principle.

Untuk Indonesia, pertama kali hak atas lingkungan yang sehat dan baik diakui di dalam UU No. 4 Tahun 1982 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Pengelolaan Lingkungan Hidup, awalnya hanya terdiri dari 24 pasal pokok saja yang kemudian disempurnakan menjadi 52 pasal dalam UU No. 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup. Dalam konsideran dinyatakan bahwa kesadaran dan kehidupan masyarakat dalam kaitannya dengan pengelolaan lingkungan hidup telah berkembang sedemikian rupa sehingga pokok materi sebagaimana diatur dalam UU No. 4 Tahun 1982 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Pengelolaan Lingkungan Hidup perlu disempurnakan untuk mencapai tujuan pembangunan berkelanjutan yang berwawasan lingkungan hidup.

UU No. 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup memiliki beberapa penambahan aturan yang mengatur tentang :

1. Batasan hukum tentang polusi

2. Perbuatan melawan hukum, poluter must pay

3. Legal standing

4. Class Action

5. Strictliability

6. AMDAL

UU No. 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup yang terdiri dari 52 pasal kemudian diperbarui menjadi 127 pasal pokok dalam UU No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Hal ini dilakukan agar lebih menjamin kepastian hukum dan memberikan perlindungan terhadap hak setiap orang untuk mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat sebagai bagian dari perlindungan terhadap keseluruhan ekosistem.
Secara filosofis UU No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup memandang dan menghargai arti penting akan hak-hak asasi manusia berupa hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat bagi warga negara. Hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat di Indonesia diakui sebagai HAM melalui ketetapan MPR RI Nomor XVII/MPR/1998 tentang Hak Asasi Manusia. Di salah satu pasal pada Deklarasi Nasional tentang HAM menetapkan bahwa, “setiap orang berhak atas lingkungan hidup yang sehat dan baik”.

Reformasi yang ingin dibangun dalam UU No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup adalah adanya era otonomi daerah, yang banyak memberi perubahan dalam hubungan dan kewenangan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah, perlu suatu landasan filosofi yang mendasar dalam perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup di daerah-daerah. Bukan rahasia lagi bahwa dengan otonomi daerah yang ditandai adanya UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah, telah memberi suatu kekuasaan pada raja-raja baru di daerah dengan membabat habis sumber daya alam baik berupa hutan, tambang, perkebunan dan lain-lainnya yang semua itu tidak memperhatikan aspek lingkungan.

UU No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, juga memasukkan landasan filosofi tentang konsep pembangunan berkelanjutan dan berwawasan lingkungan dalam rangka pembangunan ekonomi. Ini penting dalam pembangunan ekonomi nasional karena persoalan lingkungan kedepan semakin komplek dan sarat dengan kepentingan investasi. Karenanya persoalan lingkungan adalah persoalan kita semua, baik pemerintah, dunia investasi maupun masyarakat pada umumnya. Kedepan dengan terbitnya UU No.32 Tahun 2009, yang filosofinya begitu menghargai lingkungan, agar setiap orang menghormati hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat, tidak sewenang-wenang dalam memandang dan memanfaatkan kekayaan alam.