March 20, 2015

REMISI PELAKU TINDAK PIDANA KORUPSI 
HAK DAN KEPASTIAN PENEGAKAN HUKUM

Rencana Menteri Hukum dan HAM, Bapak Yasonna Laoly merevisi Peraturan Pemerintah No. 99 Tahun 2012 tentang Perubahan Kedua atas Peraturan Pemerintah No. 32 Tahun 1999 tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan menimbulkan polemik.

Menkumham menilai pembatasan remisi terhadap terpidana korupsi tak sesuai dengan prinsip pemasyarakatan. Menurutnya, aturan pengetatan remisi terhadap pelaku kejahatan luar biasa menjadikan hukum Indonesia mundur ke belakang. Bahkan, melemahkan hukum nasional karena menimbulkan diskriminasi antar narapidana.

Peraturan Pemerintah No. 99 Tahun 2012 mengatur narapidana kasus korupsi diharuskan memenuhi dua syarat untuk mendapat remisi, yang pertama bersedia menjadi "justice collaborator" (saksi pelaku) yang bekerja sama dengan aparat penegak hukum untuk mengungkap pelaku utama maupun pelaku korupsi lainnya; dan syarat kedua adalah membayar pidana uang pengganti dan denda yang dijatuhkan.

Pada prinsipnya remisi (pengurangan masa hukuman) adalah sarana hukum berwujud "Hak" yang diberikan Undang-Undang kepada semua narapidana tanpa terkecuali termasuk narapidana tindak pidana korupsi. Hal ini diamanatkan dalam Pasal 14 Undang-Undang No.12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan.

Bahwa remisi merupakan hak terpidana harus dipahami dalam konteks yuridis. Sepanjang Undang-Undang masih mengatur hal tersebut, maka pelaku tindak pidana korupsi memiliki hak yang sama mengenai remisi. Apabila ada keinginan menolak remisi bagi pelaku tindak pidana korupsi maka sesuai prinsip legalitas hukum, hal tersebut harus dilakukan dengan mengubah Undang-Undang No.12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan, sehingga kemudian ciri negara hukum yaitu perlindungan dan penegakan hukum dapat terpenuhi.