January 18, 2011


HUBUNGAN HUKUM INTERNASIONAL 
DENGAN HUKUM PIDANA INTERNASIONAL 

Setiap negara di dunia dapat dipastikan memiliki hukum nasional yang berbeda dari satu negara dengan negara yang lainnya. Hal ini dikarenakan hukum nasional pada dasarnya, bersumber dari nilai-nilai yang hidup dan tumbuh di dalam masyarakat, berdasarkan corak budaya, dan kearifan lokal yang ada di negara tersebut.
Hukum nasional juga menjadi bentuk eksistensi keberadaan suatu negara, dimana hukum nasional berlaku untuk setiap orang (individu) yang berada di wilayah negara tersebut. Dalam perkembangannya, ketika negara-negara di dunia semakin memiliki rasa keterikatan satu dengan yang lain akan kebutuhannya dalam berbagai aspek, maka kemudian dipandang perlu adanya suatu hukum internasional atau international law yang berlaku secara universal melampaui batas-batas nasionalitas dari suatu negara.

A. Pengertian Hukum Internasional
Beberapa sarjana kemudian mengemukakan pendapatnya mengenai definisi dari hukum internasional, antara lain dikemukakan oleh Grotius dalam bukunya De Jure Belli ac Pacis (Perihal Perang dan Damai). Menurutnya, hukum dan hubungan internasional didasarkan pada kemauan bebas dan persetujuan beberapa atau semua negara. Ini ditujukan demi kepentingan bersama dari mereka yang menyatakan diri di dalamnya.
Definisi hukum internasional yang diberikan oleh Grotius ini masih terbatas pada negara sebagai satu-satunya pelaku hukum dan tidak memasukkan subjek-subjek hukum lainnya. Salah satu definisi yang lebih lengkap kemudian dikemukakan oleh Charles Cheny Hyde : ”hukum internasional dapat didefinisikan sebagai sekumpulan hukum yang sebagian besar terdiri atas prinsip-prinsip dan peraturan-peraturan yang harus ditaati oleh negara-negara, dan oleh karena itu juga harus ditaati dalam hubungan-hubungan antara mereka satu dengan lainnya,  yang juga mencakup :
a. Organisasi internasional, hubungan antara organisasi internasional satu dengan lainnya, hubungan peraturan-peraturan hukum yang berkenaan dengan fungsi-fungsi lembaga atau antara organisasi internasional dengan negara atau negara-negara; dan hubungan antara organisasi internasional dengan individu atau individu-individu;
b. Peraturan-peraturan hukum tertentu yang berkenaan dengan individu-individu dan subyek-subyek hukum bukan negara (non-state entities) sepanjang hak-hak dan kewajiban-kewajiban individu dan subyek hukum bukan negara tersebut bersangkut paut dengan masalah masyarakat internasional”.[1]
Sejalan dengan definisi yang dikeluarkan Hyde, Mochtar Kusumaatmadja mengartikan hukum internasional sebagai keseluruhan kaidah-kaidah dan asas-asas hukum yang mengatur hubungan atau persoalan yang melintasi batas-batas negara, antara negara dengan negara dan negara dengan subjek hukum lain bukan negara atau subyek hukum bukan negara satu sama lain.[2] Berdasarkan pada definisi-definisi di atas, secara sepintas sudah diperoleh gambaran umum tentang ruang lingkup dan substansi dari hukum internasional, yang di dalamnya terkandung unsur subyek atau pelaku, hubungan-hubungan hukum antar subyek atau pelaku, serta hal-hal atau obyek yang tercakup dalam pengaturannya, serta prinsip-prinsip dan kaidah atau peraturan-peraturan hukumnya.
Pada dasarnya yang dimaksud dengan hukum internasional dalam penerapannya terbagi menjadi dua, yaitu: hukum internasional publik dan hukum perdata internasional. Hukum internasional publik adalah keseluruhan kaidah dan asas hukum yang mengatur hubungan atau persoalan yang melintasi batas negara, yang bukan bersifat perdata. Sedangkan hukum perdata internasional adalah keseluruhan kaidah dan asas hukum yang mengatur hubungan perdata yang melintasi batas negara, dengan perkataan lain, hukum yang mengatur hubungan hukum perdata antara para pelaku hukum yang masing-masing tunduk pada hukum perdata yang berbeda.[3]

B. Sejarah Hukum Internasional
Hukum internasional sebenarnya sudah dikenal eksisitensinya sejak zaman Romawi Kuno. Orang-orang Romawi Kuno mengenal dua jenis hukum, yaitu Ius Ceville dan Ius Gentium, Ius Ceville adalah hukum nasional yang berlaku bagi masyarakat Romawi, dimanapun mereka berada, sedangkan Ius Gentium adalah hukum yang diterapkan bagi orang asing, yang bukan berkebangsaan Romawi. Dalam perkembangannya, Ius Gentium berubah menjadi Ius Inter Gentium yang lebih dikenal juga dengan Volkenrecth (Jerman), Droit de Gens (Perancis) dan kemudian juga dikenal sebagai Law of Nations (Inggris).[4]
Hukum internasional modern sendiri mulai berkembang pesat pada abad ke XVI, yaitu sejak ditandatanganinya Perjanjian Westphalia 1648, yang mengakhiri perang 30 tahun (thirty years war) di Eropa. Sejak saat itulah, mulai muncul negara-negara yang bercirikan kebangsaan, kewilayahan atau teritorial, kedaulatan, kemerdekaan dan persamaan derajat. Dalam kondisi semacam inilah sangat dimungkinkan tumbuh dan berkembangnya prinsip-prinsip dan kaidah-kaidah hukum internasional.[5] Perkembangan hukum internasional modern ini, juga dipengaruhi oleh karya-karya tokoh kenamaan Eropa, yang terbagi menjadi dua aliran utama, yaitu golongan Naturalis dan golongan Positivis.
Menurut golongan Naturalis, prinsip-prinsip hukum dalam semua sistem hukum bukan berasal dari buatan manusia, tetapi berasal dari prinsip-prinsip yang berlaku secara universal, sepanjang masa dan yang dapat ditemui oleh akal sehat. Hukum harus dicari, dan bukan dibuat. Golongan Naturalis mendasarkan prinsip-prinsip atas dasar hukum alam yang bersumber dari ajaran Tuhan. Tokoh terkemuka dari golongan ini adalah Hugo de Groot atau Grotius, Fransisco de Vittoria, Fransisco Suarez dan Alberico Gentillis.[6]
Sementara itu, menurut golongan Positivis, hukum yang mengatur hubungan antar negara adalah prinsip-prinsip yang dibuat oleh negara-negara dan atas kemauan mereka sendiri. Dasar hukum internasional adalah kesepakatan bersama antara negara-negara yang diwujudkan dalam perjanjian-perjanjian dan kebiasaan-kebiasaan internasional. Seperti yang dinyatakan oleh Jean Jacques Rousseau dalam bukunya Du Contract Social, La loi c’est l’expression de la Volonte Generale, bahwa hukum adalah pernyataan kehendak bersama. Pada abad XIX, hukum internasional berkembang dengan cepat, karena adanya faktor-faktor penunjang, antara lain :
1. Setelah Kongres Wina 1815, negara-negara Eropa berjanji untuk selalu menggunakan prinsip-prinsip hukum internasional dalam hubungannya satu sama lain,
2. Banyak dibuatnya perjanjian-perjanjian (law-making treaties) di bidang perang, netralitas, peradilan dan arbitrase,
3. Berkembangnya perundingan-perundingan multilateral yang juga melahirkan ketentuan-ketentuan hukum baru.
Di abad XX, hukum internasional mengalami perkembangan yang sangat pesat, karena dipengaruhi faktor-faktor sebagai berikut:
1. Banyaknya negara-negara baru yang lahir sebagai akibat dekolonisasi dan meningkatnya hubungan antar negara,
2. Kemajuan pesat teknologi dan ilmu pengetahuan yang mengharuskan dibuatnya ketentuan-ketentuan baru yang mengatur kerjasama antar negara di berbagai bidang,
3. Banyaknya perjanjian-perjanjian internasional yang dibuat, baik bersifat bilateral, regional maupun bersifat global,
4. Bermunculannya organisasi-organisasi internasional, seperti Perserikatan Bangsa Bangsa dan berbagai organ subsidernya, serta Badan-badan Khusus dalam kerangka Perserikatan Bangsa-Bangsa yang menyiapkan ketentuan-ketentuan baru dalam berbagai bidang.[7] 
  
C. Sejarah Hukum Pidana Internasional
Pada dasarnya, menurut Romli Atmasasmita istilah Hukum Pidana Internasional atau Internationale Strafprocessrecht semula diperkenalkan dan dikembangkan oleh pakar-pakar hukum internasional dari Eropa daratan seperti: Friederich Meili pada tahun 1910 (Swiss) Georg Schwarzenberger pada tahun 1950 (Jerman); Gerhard Mueller pada tahun 1965 (Jerman); J.P. Francois pada tahun 1967; Rolling pada tahun 1979 (Belanda); Van Bemmelen pada tahun 1979 (Belanda), kemudian diikuti oleh para pakar hukum dari Amerika Serikat seperti: Edmund Wise pada tahun 1965 dan Cherif Bassiouni pada tahun 1986 (Amerika Serikat).[8]
Hukum Pidana Internasional atau international criminal law atau internationale strafprocessrecht merupakan cabang ilmu hukum yang relatif baru. Romli Atmasasmita menyebutkan Hukum Pidana Internasional sebagai salah satu cabang ilmu hukum dimulai oleh Gerhard O.W. Mueller dan Edmund M. Wise yang telah menyusun suatu karya tulis International Criminal Law dalam rangka proyek penulisan di bawah judul Comparative Criminal Law Project dari Universitas New York. Pekerjaan ini kemudian dilanjutkan oleh Bassiouni dan V. Nada (1986), yang telah menulis sebuah karya tulis A Treatise on International Criminal Law (1973).[9]

D. Pengertian Hukum Pidana Internasional
Ditinjau dari substansinya maka hukum pidana internasional itu sendiri menunjukkan adanya sekumpulan kaidah-kaidah dan asas-asas hukum pidana yang mengatur tentang kejahatan internasional.[10] Akan tetapi, sebenarnya pengertian Hukum Pidana Internasional tidaklah sesederhana itu. Ruang lingkup dan dimensi dari Hukum Pidana Internasional teramat luas dan bahkan mempunyai 6 (enam) pengertian. 
Romli Atmasasmita lebih lanjut menyebutkan keenam pengertian Hukum Pidana Internasional tersebut mencakup aspek-aspek sebagai berikut:
(1) Hukum Pidana Internasional dalam arti lingkup territorial pidana nasional (internasional criminal law in the meaning of the territorial scope of municipal criminal law) ;
(2) Hukum Pidana Internasional dalam arti kewenangan internasional yang terdapat di dalam hukum pidana internasional (international criminal law in the meaning of internationally priscribel municipal criminal law);
(3) Hukum Pidana Internasional dalam arti kewenangan internasional yang terdapat dalam hukum pidana nasional (international criminal law in the meaning of internationally authorized municipal criminal law);
(4) Hukum Pidana Internasional dalam arti ketentuan hukum pidana nasional yang diakui sebagai hukum yang patut dalam kehidupan masyarakat bangsa yang beradab (international criminal law in the meaning of municipal criminal law common to civilised nations);
(5) Hukum Pidana Internasional dalam arti kerja sama internasional dalam mekanisme administrasi peradilan pidana nasional (international criminal law in the meaning of international co-operation in the administration of municipal criminal justice);
(6) Hukum Pidana International dalam arti materiil (international criminal law in the material sense of the word).[11]
Asumsi di atas menegaskan bahwa Hukum Pidana Internasional teramat luas bukan saja dalam arti lingkup teritorial hukum pidana nasional, akan tetapi juga meliputi aspek internasional baik dalam arti kewenangan internasional yang terdapat dalam hukum pidana nasional, mekanisme administrasi peradilan pidana nasional serta hukum pidana internasional dalam arti materil. Bertolak dari perkembangan zaman, terdapat perbuatan-perbuatan yang dilarang, yang kekuatan berlakunya tidak hanya dipertahankan oleh kedaulatan suatu negara, tetapi juga dipertahankan oleh masyarakat internasional. Perbuatan-perbuatan tersebut kemudian dikualifikasikan sebagai kejahatan internasional yang merupakan substansi pokok dari hukum pidana internasional.
Antonio Cassese mendefinisikan hukum pidana internasional sebagai bagian dari aturan-aturan internasional mengenai larangan-larangan kejahatan internasional dan kewajiban negara melakukan penuntutan dan hukuman beberapa kejahatan. Anthony Aust menyatakan bahwa terminologi hukum pidana internasional biasanya digunakan untuk menggambarkan aspek-aspek internasional yang berkaitan dengan kejahatan-kejahatan internasional.
Menurut Remmelink yang menggunakan istilah “hukum pidana supra nasional”, hukum pidana  internasional pada hakekatnya adalah hukum pidana yang keberlakuannya pada hukum antar bangsa tidak bisa mengesampingkan prinsip-prinsip internasional dan kebiasaan-kebiasaan internasional. Rolling mendefenisikan hukum pidana internasional sebagai hukum yang menentukan hukum pidana nasional yang akan diterapkan terhadap kejahatan-kejahatan yang nyata dilakukan jika terdapat unsur-unsur internasional di dalamnya.
Shinta Agustina dengan mengutip pendapat Edmund.M.Wise menyatakan bahwa hukum pidana internasional dalam pengertian yang paling luas meliputi tiga topik. Pertama, kekuasaan mengadili dari pengadilan negara tertentu terhadap kasus-kasus yang melibatkan unsur asing. Hal ini terkait yurisdiksi tindak pidana internasional, pengakuan putusan pengadilan asing, dan kerjasama antar negara dalam menanggulangi tindak pidana internasional. Kedua, prinsip-prinsip hukum publik internaional yang menetapkan kewajiban pada negara-negara dalam hukum pidana atau hukum acara pidana nasional negara yang bersangkutan. Kewajiban tersebut antara lain adalah kewajiban untuk menghormati hak-hak asasi seorang tersangka atau hak untuk menuntut dan menjatuhi pidana terhadap pelaku tindak pidana internasional. Ketiga, mengenai arti sesungguhnya dan keutuhan pengertian hukum pidana internasional termasuk instrumen penegakan hukumnya.
George Schwarzenberger sebagaimana yang dikutip Romli Atmasasmita, memberi enam pengertian terhadap hukum pidana internasional. Pertama, hukum pidana internasional dalam arti lingkup teritorial hukum pidana nasional. Kedua, hukum pidana internsional dalam arti aspek internasional yang diterapkan sebagai ketentuan dalam hukum pidana nasional. Ketiga, hukum pidana internasional dalam arti ketentuan hukum pidana nasional yang diakui sebagai hukum yang patut dalam kehidupan masyarakat bangsa yang beradab. Kelima, hukum pidana internasional dalam arti kerjasama internasional sebagai mekanisme administrasi peradilan internasional. Keenam, hukum pidana internasional dalam arti kata materiil.
Cherif Bassiouni menyatakan bahwa hukum pidana internasional adalah perpaduan dari dua disiplin hukum yang berbeda, agar dapat saling melengkapi, yaitu aspek-aspek pidana dari hukum pidana internasional dan aspek-aspek internasional dari hukum pidana. Hukum pidana internasional adalah disiplin hukum yang kompleks, yang komponennya lebih dari satu disiplin hukum dan memiliki hubungan fungsional di antaranya. Komponen hukum pidana internasional antara lain adalah hukum internasional, hukum pidana nasional, perbandingan hukum pidana, dan prosedur serta hukum hak asasi manusia internasional dan regional.
Enschede tidak memberikan definisi hukum pidana internasional, namun menyatakan bahwa hukum pidana dalam artian yang luas mencakup hukum pidana internasional yang berkaitan dengan hukum internasional, khususnya kejahatan perang dan kejahatan terhadap kemanusiaan. Ada dua hal yang penting dari hukum pidana internasional. Pertama, materiil hukum pidana internasional adalah perbuatan-perbuatan yang menurut hukum internasional baik berdasarkan hukum kebiasaan internasional maupun berdasarkan konvensi internasional adalah kejahatan internasional. Kedua, formil hukum pidana internasional dalam pengertian penegakan hukum pidana internasional adalah aspek internasional dalam hukum pidana nasional. Secara singkat, hukum pidana internasional didefiniskan sebagai perangkat aturan menyangkut kejahatan-kejahatan internasional yang penegakannya dilakukan oleh negara atas dasar kerjasama internasional atau oleh masyarakat internasional melalui suatu lembaga internasional, baik yang bersifat permanen maupun yang bersifat ad-hoc.[12]

E. Sumber Hukum Pidana Internasional
Sumber hukum adalah tempat dimana kita dapat menemukan atau mengggali suatu hukum. Sumber hukum dapat dibagi menjadi sumber hukum materiil dan sumber hukum formil. Sumber hukum materiil ialah tempat darimana materi hukum itu diambil, sedangkan sumber hukum formil adalah tempat atau sumber darimana suatu peraturan memperoleh kekuatan hukum.
Sumber hukum dalam konteks hukum internasional mengacu pada Pasal 38 Paragraf 1 Statuta Mahkamah Internasional yang menetapkan ketentuan-ketentuan hukum internasional yang dapat diterapkan Mahkamah Internasional dalam menyelesaikan sengketa yang diajukan kepadanya. Sumber hukum bagi hukum internasional tersebut juga berlaku bagi sumber hukum pidana internasional. Pertama, konvensi internasional, yaitu proses penetapan suatu ketentuan menjadi ketentuan hukum internasional yang berlaku umum. Kedua, kebiasaan internasional, yakni bukti praktik umum yang diterima sebagai hukum. Ketiga, prinsip-prinsip umum hukum yang diakui oleh bangsa-bangsa beradab. Keempat, putusan pengadilan dan ajaran para ahli hukum dari berbagai bangsa sebagai sarana pelengkap untuk menetapkan ketentuan-ketentuan umum.[13]

F. Subyek-subyek Hukum Pidana Internasional
1. Individu
Individu atau orang perorangan adalah merupakan subyek hukum, bahkan merupakan subyek hukum yang utama dari hukum pidana internasional. Sebagian besar kejahatan baik dalam skala kecil maupun besar, pelakunya adalah individu, apakah individu dalam melakukannya secara orang-perorangan tanpa terkait dengan siapapun juga, atau dilakukan secara bekerjasama sesuai dengan perannya masing-masing, maupun secara berkelompok bahkan terorganisasikan atau dalam rangka melaksanakan tugas negaranya.
2. Negara
Negara adalah merupakan subyek hukum internasional. Akan tetapi, negara dapat melakukan kejahatan internasional, hanya saja penyelesaiannya tidak berdasarkan ketentuan hukum pidana internasional yang berlaku terhadap individu, melainkan berdasarkan hukum internasional pada umumnya, tegasnya, tentang tanggungjawab negara dalam hukum internsional.
3. Badan-Badan Hukum Swasta
Badan-badan hukum swasta baik nasional maupun transnasional atau multinasional dapat menjadi subyek hukum pidana internasional tetapi dalam ruang lingkup yang terbatas. Misalnya dalam berkenaan dengan kejahatan dalam bidang lingkungan hidup. Atau dalam bidang perekonomian berupa kasus-kasus kejahatan atau tindak pidana ekonomi. Misalnya, pembajakan hasil karya cipta dari orang-orang di suatu negara yang dilakukan oleh badan hukum swasta dari negara lain.

G. Fungsi Hukum Pidana Internasional
Apabila dijabarkan lebih lanjut maka pada pokoknya sebenarnya ada 4 (empat) fungsi dari Hukum Pidana Internasional. Adapun keempat fungsi tersebut adalah sebagai berikut:
1. Agar hukum nasional di masing-masing negara dipandang dari sudut hukum pidana internasional sama derajadnya. Dari aspek ini, maka menempatkan negara-negara di dunia ini tanpa memandang besar atau kecil, kuat atau lemah, maju atau tidaknya, memiliki kedudukan yang sama antara satu dengan lainnya. Oleh karena itu, maka hukum masing-masing diantara negara-negara mempunyai kedudukan yang sama.
2. Agar tidak ada intervensi hukum antara negara satu dengan yang lain. Tegasnya, agar negara besar tidak melakukan intervensi hukum terhadap negara yang lebih kecil. Apabila dijabarkan lebih jauh maka fungsi kedua dari Hukum Pidana Internasional ini merupakan penjabaran dari asas non-intervensi. Menurut asas ini, maka suatu negara tidak boleh campur tangan atas masalah dalam negeri negara lain, kecuali negara itu sendiri menyetujui secara tegas. Jika suatu negara, misalnya dengan menggunakan kekuatan bersenjata berusaha memadamkan ataupun mendukung pemberontakan bersenjata yang terjadi di dalam suatu negara lain tanpa persetujuan negara yang bersangkutan, tindakan ini jelas melanggar asas non-intervensi.
3. Hukum Pidana Internasional juga mempunyai fungsi sebagai “jembatan” atau “jalan keluar” bagi negara-negara yang berkonflik untuk menjadikan Mahkamah Internasional sebagai jalan keluar. Pada dasarnya, Mahkamah Internasional merupakan sebuah lembaga peradilan yang bersifat independen dan tidak memihak yang memutus serta mengadili suatu perkara yang dipersengketakan oleh negara-negara yang berkonflik. Oleh karena itu maka Hukum Pidana Internasional inilah yang merupakan “jembatan” atau “jalan keluar” bagi negara-negara yang berkonflik.
4. Hukum Pidana Internasional juga berfungsi untuk dijadikan landasan agar penegakan Hak Asasi Manusia (HAM) Internasional relatif menjadi lebih baik. Dari perspektif Hukum Pidana Internasional maka asas ini lazim disebut sebagai Asas “penghormatan dan perlindungan terhadap hak-hak asasi manusia”.[14] Asas ini membebani kewajiban kepada negara-negara bahkan kepada siapapun untuk menghormati dan melindungi hak asasi manusia dalam situasi dan kondisi apapun juga. Berdasarkan asas ini, tindakan apapun yang dilakukan oleh negara-negara atas seseorang atau lebih dalam status apapun juga, tindakannya ini tidak boleh melanggar ataupun bertentangan dengan hak asasi manusia. Sebagai contoh, suatu negara membuat peraturan perundang-undangan nasional dalam bidang hukum pidana seperti undang-undang tidak pidana korupsi, terorisme, money loundering, dan lain sebagainya tidak boleh ada ketentuannya yang bertentang dengan hak asasi manusia. Keempat fungsi Hukum Pidana Internasional tersebut merupakan fungsi yang bersifat elementer dan krusial. Apabila dijabarkan, maka keempat fungsi tersebut berhubungan erat. 

H. Hubungan Hukum Internasional dengan Hukum Nasional.
Ada dua teori yang dapat menjelaskan bagaimana hubungan antara hukum internasional dan hukum nasional, yaitu: teori Dualisme dan teori Monisme. Menurut teori Dualisme, hukum internasional dan hukum nasional merupakan dua sistem hukum yang secara keseluruhan berbeda. Hukum internasional dan hukum nasional merupakan dua sistem hukum yang terpisah, tidak saling mempunyai hubungan superioritas atau subordinasi. Berlakunya hukum internasional dalam lingkungan hukum nasional memerlukan ratifikasi menjadi hukum nasional. Kalau ada pertentangan antar keduanya, maka yang diutamakan adalah hukum nasional suatu negara. Sedangkan menurut teori Monisme, hukum internasional dan hukum nasional saling berkaitan satu sama lainnya. Menurut teori Monisme, hukum internasional itu adalah lanjutan dari hukum nasional, yaitu hukum nasional untuk urusan luar negeri. Menurut teori ini, hukum nasional kedudukannya lebih rendah dibanding dengan hukum internasional. Hukum nasional tunduk dan harus sesuai dengan hukum internasional.[15] 

I. Hubungan Antara Hukum Internasional Dengan Hukum Pidana Internasional
Hukum internasional mengenai masalah pidana pada satu pihak dan hukum pidana nasional yang mengandung dimensi internasional, tidaklah terpisah sama sekali melainkan ada hubungan yang juga menampakkan keterpaduan antara keduanya. Kaidah-kaidah hukum pidana internasional yang bersumber dari hukum internasional maupun dari hukum pidana nasional negara-negara, berada dalam suatu hubungan yang sangat erat. Kaidah-kaidah hukum pidana internasional yang berupa perjanjian internasional mengenai suatu kejahatan internasional yang masuk dan menjadi bagian dari hukum pidana nasional negara-negara baik melalui mekanisme ratifikasi disertai dengan pemberlakuannya serta pentransformasiannya ke dalam hukum nasional maupun melalui pengadopsian substansinya menjadi hukum atau undang-undang pidana nasional negara-negara, menjadikan kaidah hukum tersebut ada dalam ruang lingkup hukum internasional maupun nasional dengan jiwa dan semangat yang sama, yakni, kejahatan atau tindak pidana itu harus dicegah dan diberantas demi keamanan, ketentraman, kedamaian masyarakat internasional maupun nasional. Dengan kata lain, keduanya tidaklah terpisah dan berdiri sendiri satu dengan lainnya.
Demikian juga halnya dengan peraturan perundang-undangan pidana nasional suatu negara atau lebih mengenai suatu masalah tertentu yang berkembang menjadi hukum pidana internsional, yakni, dengan dijadikannya sebagai substansi dari suatu perjanjian internasional yang kemudian perjanjian internasional itu diratifikasi, diberlakukan ke dalam dan ditransformasikan menjadi undang-undang pidana nasional. Atau substansi perjanjian internasional itu diadopsi oleh suatu negara lainnya dan dijadikan sebagai substansi dari undang-undang pidana nasionalnya, sehingga substansi perjanjian internasional itu menjadi berlaku secara umum sebab sudah diterima oleh sebagian besar negara-negara di dunia ini.

[1]I Wayan Phartiana, Pengantar Hukum Internasional (Bandung, Penerbit Mandar Maju, 2003), hal. 4.
[2]Mochtar Kusamaatmadja, Pengantar Hukum Internasional (Bandung, Penerbit Bina Cipta, 1999), hal. 2.
[3]Ibid., hal. 1.
[4]Ibid., hal. 4.
[5]I Wayan Phartiana, Pengantar Hukum Internasional (Bandung, Penerbit Mandar Maju, 2003), hal. 41.
[6] Boer Mauna, Hukum Internasional; Pengertian, Peran dan Fungsi dalam Era Dinamika Global (Bandung,  PT. Alumni, 2003), hal. 6.
[7] Ibid., hal. 7.
[8]Romli Atmasasmita, Pengantar Hukum Pidana Internasional (Bandung, Penerbit Refika Aditama, 2003), hal. 19
[9]Ibid., hal. 19.
[10]I Wayan ParthianaHukum Pidana Internasional (Bandung, Penerbit CV Yrama Widya, 2006), hal. 31
[11]Romli Atmasasmita, op. cit., hal. 21.
[12]Eddy O.S. Hiariej, Pengantar Hukum Pidana Internasional (Jakarta, Penerbit Airlangga, 2009), Hal. 7-9
[13] Eddy O.S. Hiariej, opcit., hal. 22.
[14]Lilik Mulyadi, S.H., M.H, “Fungsi Hukum Pidana Internasional Dihubungkan Dengan Kejahatan Transnasional Khususnya Terhadap Tindak Pidana Korupsi”, Paper, Jakarta, hal. 3.
[15]Muhammad Burhantsani, Hukum dan Hubungan Internasional (Yogyakarta, Penerbit Liberty, 1990) hal. 26.